Refleksi Panggilan
Aku masuk kembali ke gedung utama, menyusuri selasar menuju sektor Golbes di timur. Di aula Golbes kulihat anak-anak Grammatika dan Syntaksis sedang menyimak serius paparan Mas Damar Juniarto, aktivis kebebasan internet dan hak digital, rekan voluntir di Paguyuban Gembala Utama (PGU). Mas Damar sedang mendampingi para seminaris untuk memahami website dan membuat E-Magazine.
Kemarin sore dan malam, lanjut tadi pagi, aku sudah mendampingi mereka untuk membangkitkan talenta menulis, karunia Tuhan bagi setiap orang. Mengambil topik riwayat awal panggilan menjadi pastor, tulisan-tulisan mereka akan diterbitkan dalam E-Magazine.
Saat membaca satu per satu draft tulisan seminaris itu, aku terhenyak oleh kesamaan antara motif mayoritas mereka dan motifku dulu masuk seminari. Ingin seperti pastor-pastor yang datang melayani umat di gereja mereka dulu. Pastor dipandang sebagai sosok ideal, layak diikuti jejaknya.
Aku juga dulu begitu. Motifku ingin seperti pastor paroki kami yang penuh wibawa. Dia sangat dihormati umat. Dia juga senantiasa dikerubuti ibu-ibu muda dan gadis-gadis saat kunjungan layanan.
Barangkali hal tersebut terakhir itu motif sesat. Dalam suatu retret mahasiswa Katolik tahun 1980, empat tahun setelah keluar dari SMCS, seorang senior menegurku. "Kalau cuma ingin dikerubuti wanita, kamu cukup jadi tukang sayur keliling saja, tak perlu jadi pastor," katanya.
Kelak aku paham, untuk bisa menyandang nama ordo "OFM Cap", seorang lelaki Katolik harus bisa menjiwai nilai-nilai kemurnian (selibat), kemiskinan, dan ketaatan. Barangkali para pastor SMCS tak melihat kehadiran benih nilai-nilai itu dalam diriku. Tentu mereka telah mengamati perilakuku selama tiga tahun di SMP Seminari.
Kemudian hari aku menyadari diriku memang bukan tipe manusia yang tahan selibat dan taat pada atasan. Kalau soal hidup miskin, relatiflah. Toh sekarang juga hidupku terbilang miskin harta juga walau, syukur pada Tuhan, tak sampai meranalah.
Benarlah kata-kata Pastor Direktur SMCS yang disampaikan padaku di penghujung tahun 1976. "Kami tidak ingin merusak kebahagiaanmu dengan menahanmu lebih lama di sini." Itu artinya aku harus keluar dari seminari dan mendapatkan kebahagianku di luar sana.
Perasaanku bergolak waktu itu. Sedih, malu, kecewa, dan marah campur-aduk menjadi semacam racun jiwa. "Mengapa Engkau menolakku, Tuhan!" jeritku dalam hati. "Aku tidak bodoh, juga tidak jahat. Aku nakal, iya, tapi apakah Yesus tak pernah nakal waktu kecil?" Aku menumpahkan kata-kata yang kelak kusesali.
Aku meneteskankan air mata saat keluar dari ruang kerja Pastor Direktur. Di selasar, beberapa temanku telah menunggu dengan sikap empatik. Mereka menepuk-nepuk bahuku untuk membesarkan hati. Ya, itu sedikit menolong, kawan, terimakasih.