Di seberang timur selasar, dipisahkan oleh taman, ada aula untuk rekreasi. Dulu, seusai belajar mandiri malam dalam kelas pukul 19.30-21.00 WIB, kami seminaris Golkec wajib rekreasi di situ.Â
Homo ludens, maka setiap seminaris harus bermain sebagai rekreasi. Boleh pilih permain apa saja yang tersedia. Tenis meja, karambol, ular tangga, halma, catur, gaple, bridge, atau lainnya.Â
Mengiringi rekreasi, Pastor Pengawas memutar lagu-lagu dari kamarnya, diteruskan lewat pengeras suara ke aula. Lazimnya lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, The Cats, dan Credence Clearwater Revival. Aku sangat menikmatinya. Tapi, jujur, yang bisa kutangkap cuma frasa-frasa semacam "oblada obladi", "vaya con dios my darling", "dont't forget to remember me", dan "have you ever seen the rain."
Menempel pada dinding selatan aula, kini adalah ruang jemur dan setrika pakaian. Dulu ruang itu bangunan terpisah di sisi selatan. Ruang itu bagi seminaris adalah tempat pelatihan kemandirian. Cuci dan setrika pakaian sendiri. Dulu aku dan kawan-kawan wajib punya ember, sikat pakaian, dan sabun cuci sendiri.Â
Cuci dan setrika pakaian sendiri bukan soal gampang bagiku dan kawan-kawan. Kami datang dari masyarakat patriarkis. Cuci dan setrika pakaian adalah urusan gender perempuan. Laki-laki tahunya pakai saja.
Di sisi timur aula, dipisahkan tembok, terdapat ruang makan seminaris. Dulu ruang itu terbagi dua oleh tembok, belahan barat untuk Golkec dan timurnya untuk Golbes. Sekarang dua ruang itu tetap terbagi dua, tapi hanya terpisahkan oleh dinding kayu. Meja-meja dan bangku-bangku panjang dulu ditata membujur dari utara ke selatan, sekarang melintang dari timur ke barat.
Ruang makan itu, sekali lagi, adalah wahana pelatihan kemandirian, selain tempat mencukupi kebutuhan pangan dan gizi bagi para seminaris. Secara berkelompok per meja, dan bergilir tiap hari , seminaris harus mencuci sendiri semua piring, mangkuk, dan sendok-garpu makan.
Sekali lagi, di ruang makan itu, kepada seminaris diajarkan soal kesetaraan gender. Bahwa pekerjaan domestik cuci perabotan makan itu bukan semata domein perempuan tapi juga laki-laki. Aku ingat kami awalnya kaku saat melakukan pekerjaan itu. Beruntung kadang ada seorang suster yang mengajari. Lebih beruntung lagi bila suster itu muda dan cantik.
Keluar dari ruang makan, menapaki selasar aula ke arah barat, kepala mendongak ke arah utara, menatap aula besar di lantai dua gedung utama. Dulu itu adalah aula tidur untuk Golkec. Aku beranjak ke sana, menaiki tangga naik dari selasar ruang kelas dan, setiba di atas, melongok ke dalam ruang jembar itu.