Ujung lobby itu menyatu dengan selasar gedung utama. Ke sebelah kiri, dulu adalah selasar sektor Golongan Besar (Golbes), kelas-kelas Grammatika, Syntaksis, dan Poesis (1, 2, dan 3 SMA). Ke sebelah kanan, adalah sektor Golongan Kecil (Golkec), kelas-kelas Prima di ujung barat, Secunda, dan Tertia (1, 2, dan 3 SMP).
Ke sebelah kananlah langkah kuarahkan, menyusuri selasar Golkec sampai ke ujung barat. Aku mengenang selasar itu sebagai jalur air mata. Di situ sejumlah anak Prima meneteskan air mata pada minggu pertama berada di seminari. Entah itu karena rindu rumah atau kena risak anak Secunda dan Tertia.
Aku melongok ke dalam ruang paling besar di ujung barat. Itu ruang kelas Prima, tempatku dan kawan-kawan belajar pada tahun pertama.Â
Kami, Prima 1974 seingatku ada 45 orang. Datang dari berbagai paroki se-Keuskupan Agung Medan. Etnisnya aneka ragam: Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Nias, Gayo, Jawa, Cina, dan Manado.Â
Itu untuk pertama kalinya aku berinteraksi dengan ragam suku bangsa. Agar saling paham maka kami wajib menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan soal mudah bagiku, anak Toba yang selama SD menggunakan Bahasa Batak, bahkan saat pelajaran Bahasa Indonesia.
Aku duduk sebangku, terdepan kiri, dengan seorang anak Cina Siantar. Dia, lulusan SDK Cinta Rakyat, tak terkalahkan dalam pelajaran "Aljabar" dan "Ilmu Ukur". Saat buntu otak, beberapa kali aku minta diajarinya tapi otakku tetap bebal. Satu-satunya kemenanganku atas dirinya hanyalah "Menggambar".
Ukuran ruang Prima itu paling besar dibanding ruang-ruang kelas Secunda sampai Poesis. Sebab jumlah siswa Prima memang selalu paling besar. Sistem gugur per kuartal -- dulu masih sistem trimester -- membuat jumlah siswa semakin sedikit ketika tiba di kelas Poesis.
Begitulah proses seleksi panggilan menjadi pilihan berlangsung. Setiap kuartal ada saja siswa seminaris yang dikeluarkan. Entah karena perkara otak lemah atau tabiat buruk yang belum ada obatnya waktu itu.
Kelak kuketahui, dari 45 orang kelas Prima 1974 yang terpanggil ke seminari, hanya tiga orang yang dipilih Tuhan menjadi pastor, imam Katolik. Hanya 7 persen. Bayangkan betapa ketatnya seleksi menjadi pastor.
“Bukan kamu yg memilih Aku, tetapi Akulah yg memilih kamu" (Yohanes 15:16). Itulah hukum-Nya. Maka dari sebegitu banyak anak yang terpanggil, sebegitu kecil jumlah yang dipilih-Nya menjadi imam.Â
Itulah misteri panggilan suci. Sepenuhnya rahasia Allah.