Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pagarbatu Samosir, Situs Pemukiman Batak Tua yang Terabaikan

28 Mei 2024   19:57 Diperbarui: 30 Mei 2024   02:54 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Detail lesung batu lima mata (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

"Sudah pernah ke Pagarbatu? Itu situs megalitikum Batak tua yang dahsyat. Lebih lengkap dibanding situs Tomok dan Siallagan."

Seorang teman lama di Tomok bertanya dengan nada pamer dalam percakapan di WAG. Itu membuatku jadi penasaran.

"Di sana ada lesung lima mata, sarkofagus, tembok batu raksasa, batu tambatan perahu, dan gua berdaya tampung seratusan orang," lanjutnya, membuat rasa ingin tahuku meronta-ronta.

"Kalau kau bohong, kawan, maka kau berhutang secangkir kopi Sigararutang padaku." Aku merutuki kawan lama itu dalam hati.

Naluri risetku tak bisa dibendung lagi. Segera aku berselancar di dunia maya. Menyisir setiap relung untuk mendapatkan serpihan-serpihan informasi tentang Pagarbatu.

Sebuah perjalanan maya ke Pagarbatu telah kulakukan. Inilah laporannya.

Wilayah dalam kotak di sebelah kanan Danau Aek Natonang adalah Desa Pardomuan, Simanindo. Pagarbatu berada di sudut kanan atas kotak wilayah desa itu (Tangkapan layar Google Map)
Wilayah dalam kotak di sebelah kanan Danau Aek Natonang adalah Desa Pardomuan, Simanindo. Pagarbatu berada di sudut kanan atas kotak wilayah desa itu (Tangkapan layar Google Map)
Peta lokasi situs pemukiman tua Pagarbatu (Batak ruins) di Desa Pardomuan, Simanindo Samosir (Tangkapan layar Google Map)
Peta lokasi situs pemukiman tua Pagarbatu (Batak ruins) di Desa Pardomuan, Simanindo Samosir (Tangkapan layar Google Map)

Situs Perkampungan Batak Tua

Pagarbatu itu ternyata situs parhutaan, perkampungan Batak tua. Berada di sebuah bukit berhutan di bantaran timur Pulau Samosir, situs ini berada dalam wilayah administratif Desa Pardomuan, Kecamatan Simanindo. Lokasinya sekitar 9 km ke arah selatan dari Tomok. Di seberang timurnya, terhubung oleh selat sempit, terhampar lembah Sigapiton, Uluan.

Pagarbatu berada dalam suatu wilayah yang dikenal sebagai Negeri Lontung. Ini sebuah lembah sempit yang memanjang di sisi timur Pulau Samosir. Berada di antara Onanrunggu di selatan dan Tomok di utaranya.

Dari namanya jelas marga raja di negeri ini adalah keturunan Siraja Lontung, putra Sariburaja dari perkawinan inses dengan adiknya Siboru Pareme. Situmorang adalah anak pertama Siraja Lontung, hasil perkawinan inses juga dengan ibunya sendiri. Keturunan Situmorang itulah pemukim pertama sekaligus salah satu marga raja di Negeri Lontung. [1]

Menurut cerita turun-temurun, tersebutlah Raja Apanggapang Situmorang yang meraja atas tanah Tanjungan Lontung. Tanah ini terbentang mulai dari danau Aek Natonang di barat, pada ketinggian Pulau Samosir, sampai ke tepian Danau Toba di sisi timur pulau (lihat peta). Kini tanah itu terbagi menjadi dua desa: Aek Natonang dan sekitarnya menjadi Tanjungan dan lembah di bawahnya menjadi Pardomuan.

Situs Huta Pagarbatu yang tersembunyi di atas bukit di Desa Pardomuan, Simanindo Samosir (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Situs Huta Pagarbatu yang tersembunyi di atas bukit di Desa Pardomuan, Simanindo Samosir (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Sebagai pusat harajaon (kerajaan), Raja Apanggapang mendirikan huta (kampung) Pagarbatu di sebuah bukit di tepi pantai. Menurut cerita orang tua-tua, huta Pagarbatu itu sudah ada sebelum Belanda masuk ke Tanah Batak tahun 1878. Dikisahkan Raja Apanggapang sudah berkuasa di situ pada masa Perang Batak (1878-1907).

Ketika sekelompok opsir Belanda mendatangi Pagarbatu pada masa Perang Batak itu, Raja Apanggapang sendirilah, bersama para ulubalang (prajurit) dan warga yang menghadapinya. Tidak ada cerita pertumpahan darah. Juga tak ada cerita pendudukan. Belanda hanya melakukan pendataan.

Huta Pagarbatu yang tersembunyi di atas bukit agaknya tak dijamah Belanda. Menurut cerita, kampung itu memang sulit dimasuki orang luar. Dia dibentengi oleh parik, tembok batu alam yang gigantik, dinamai Parik Debata (Tembok Tuhan). Parik itu disambungkan pada tembok batu keliling kaki bukit. Secara teknis, karena itu, tak mudah menembus kampung itu.

Selain tembok fisik itu, konon ada juga tembok supranatural, buah kesaktian Raja Apanggapang. Barang siapa yang berniat jahat, maka dia tak akan bisa memasuki Pagarbatu. Dia hanya bisa minggot-inggot, berputar-putar saja mengitari kaki bukit.

Pada usia tuanya, Raja Apanggapang kemudian menyerahkan Pagarbatu pada Ompu Tarhuak Situmorang, anak lakinya nomor tiga. Walau anak ketiga, Ompu Tarhuak diyakini mewarisi sahala harajaon, wibawa pemerintahan, dari ayahnya.

Setelah Raja Apanggapang wafat karena penyakit di usia tua, Ompu Tarhuak tampil menggantikan posisinya sebagai Raja Tanjungan yang berkedudukan di Pagarbatu. Ompu Tarhuak tercatat sebagai raja terakhir. Tulang-belulangnyalah yang tersimpan dalam sebuah sarkofagus, makam batu di puncak bukit Pagarbatu kini.

Denah dan persebasaran tinggalan arkeologis di situs Pagarbatu, Simanindo Samosir (Arsip Balai Arkeologi Medan dan Dinas Parsenibud Samosir, 2013)
Denah dan persebasaran tinggalan arkeologis di situs Pagarbatu, Simanindo Samosir (Arsip Balai Arkeologi Medan dan Dinas Parsenibud Samosir, 2013)

Situs Megalitikum Muda

Selain pengelolaannya terabaikan, publikasi tentang keberadaan situs ini juga relatif jarang. Hanya ada beberapa publikasi berupa artikel media massa daring, media sosial, tayangan video Youtube dan Tiktok, dan jurnal ilmiah daring. [2]

Kecuali artikel jurnal ilmiah, publikasi-publikasi tersebut umumnya mengungkap hal serupa yaitu ragam jenis tinggalan arkeologis yang ada di Pagarbatu. Aspek yang dipaparkan lebih pada apa yang ada di sana. Tidak diuraikan mengapa benda-benda megalitik itu ada di sana.

Dari beberapa laporan ilmiah maka tulisan Ketut Wiradnyana (2021), peneliti Balai Arkeologi Medan sejauh ini terbilang paling lengkap mengurai situs Pagarbatu. Dia tak hanya mendaftar benda-benda apa saja yang ada di sana. Tapi dia mengungkap juga makna ragam benda itu dalam konteks sosio-budaya orang Batak.[3]

Menurut Wiradnyana, Pagarbatu itu tergolong situs tinggalan megalitikum muda. Dicirikan adanya kubur batu, sarkofagus, dolmen (altar batu), dan arca menhir.

Tampak jelas huta Pagarbatu itu adalah sebuah struktur punden berundak pada sebuah bukit kecil. Ada perdebatan apakah jumlah undakannya tiga atau empat. Sebab batas undakan kedua dan ketiga agak samar.

Kiranya lebih masuk akal menduga jumlah undakannya tiga. Itu lebih cocok dengan konsep banua natolu, tiga dunia dalam kosmologi Batak. Banua Ginjang, atas, tempat semayam dewa tinggi Batak yaitu Bataraguru, Debatasori, dan Mangalabulan. Banua Tonga, tengah, tempat hidup manusia. Banua Toru, bawah, tempat kediaman dewa-dewa yang, jika marah, bisa merusak bumi manusia yaitu dewa tanah Nagapadoha/Boraspati Nitano dan dewi air Boru Saniangnaga. 

Tiga undakan Pagarbatu mencerminkan tiga banua. Undakan tertinggi, ketiga, adalah simbol Banua Ginjang, tempat yang sakral. Undakan kedua, tengah, adalah simbol Banua Tonga, bumi manusia. Undakan pertama, bawah, merupakan simbol Banua Toru.

Benda-benda tinggalan arkeologis di Pagarbatu itu sebagian besar tersebar di tiga undakan tersebut. Sejumlah kecil lainnya terdapat di dataran lembah pada kaki bukit sebelah utara dan timur. (Lihat denah.)

Bontean, tiang batu untuk menambatkan perahu di darmaga (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Bontean, tiang batu untuk menambatkan perahu di darmaga (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Area lembah di kaki bukit: sawah dan dermaga

Di dataran lembah sebelah utara, di areal pemekaran kampung yang dinamai Pagarbolak, terdapat dua tinggalan berupa lesung batu. Satu bermata (lubang) tiga, lainnya bermata tunggal. Keberadaan lesung-lesung batu ini menandakan bahwa pada tahun 1800-an ekonomi warga Pagarbatu sudah berpusat pada pertanian padi. Sawah menghampar di lembah selatan, barat, dan utara kampung itu. 

Lalu di dataran lembah sebelah timur terdapat tinggalan bontean. Ini batu berbentuk silinder setinggi 2 m untuk tambatan solu bolon, perahu besar, penanda tempat itu dulu adalah dermaga.

Di masa lalu, setidaknya ahun 1800-an perahu adalah moda transportasi utama bagi warga Pagarbatu. Entah itu untuk keperluan menangkap ikan di danau, mengunjung kerabat di kampung lain, atau bahkan berperang melawan musuh.

Letak bontean itu kini sekitar 10 m di atas permukaan danau. Setinggi itulah permukaan Danau Toba telah surut sejak 1800-an. Utuk sebagian besar, itu akibat ulah manusia. Antara lain peledakan sumbat batu oleh Belanda di Sigura-gura (1905), pengerukan hulu sungai Asahan (akhir 1970-an), dan pembalakan hutan di lingkar danau. 

Masih di kaki bukit, gerbang batu untuk masuk kampung Pagarbatu terdapat di sebelah timur. Dari situ ada jalan setapak ke arah barat, lalu belok ke arah selatan (berupa susunan batu-batu) menuju pintu masuk ke undakan pertama.

Interior gua Liang Marlangkup di situs Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Interior gua Liang Marlangkup di situs Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Undakan pertama: kebun kampung

Di sisi timur parik atau tembok batu undakan pertama, di sebelah selatan gerbang masuk, terdapat sebuah gua keramat yang dinamai Liang Marlangkup, gua bertutup. Konon gua ini tembus ke Tanjungan di jetinggian Samosir.

Bila terdesak oleh musuh, raja Pagarbatu dan warganya konon akan bersembunyi ke dalam gua tersebut. Begitu mereka masuk ke dalam, maka musuh akan kehilangan jejak. Pintu gua tampak tertutup. Itu sebabnya disebut Liang Marlangkup.

Di area undakan pertama tidak ada satupun bangunan atau tinggalan arkeologis. Peruntukan area itu di masa lalu diduga adalah porlak, kebun di sekitar pemukiman. Di situ keberhasilan budidaya tergantung pada kemurahan Nagapadoha/Boraspati Nitano (dewa tanah), Boru Saniangnaga (dewi air), dan Pane Nabolon (dewa musim).

Parik Debata, tembok batu alami Pagarbatu pada undakan kedua (Tangkapan layar Jhonny Siahaan)
Parik Debata, tembok batu alami Pagarbatu pada undakan kedua (Tangkapan layar Jhonny Siahaan)

Undakan kedua: pemukiman

Undakan kedua adalah area pemukiman. Di area ini masih bisa ditemukan sejumlah umpak batu, bekas dudukan tiang rumah adat Batak. Eskavasi arkeologis di area ini menemukan antara lain pecahan gerabah.

Rumah terakhir di undakan kedua Pagarbatu adalah tiga rumah adat. Tapi rumah itu sudah hancur, setelah ditinggalkan para penghuninya pada awal 1970-an. Mereka pindah ke kaki bukit agar lebih dekat ke sumber air bersih dan lahan sawah.

Tetenger utama undakan kedua ini adalah Parik Debata, Tembok Tuhan. Berada di sudut selatan-timur undakan, tembok ini adalah batu vulkanik raksasa, hasi letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu, menjulang setinggi 9 m dan merentang sepanjang 16 m. Dinding batu itu diintegrasikan sebagai tembok kampung, dan tampil sebagai dinding tertinggi.

Menurut cerita, di masa perang antar kampung Raja Apanggapang dan Raja Ompu Tarhuak dahulu kala selalu berdiri di atas batu itu, menghadap danau. Dari situ mereka bisa memantau pertanda atau gerak-gerik kedatangan musuh di kejauhan.

Parik batu itu juga diyakini sebagai simbol kehadiran Debata Mulajadi Nabolon, Dewata Pencipta Agung, untuk melindungi Pagarbatu. Karena itu, oleh raja, tembok batu tersebut dijadikan tempat bertanya tentang hal-hal baik atau buruk yang mungkin akan menimpa Pagarbatu.

Undakan ketiga, puncak punden berundak situs megalitikum Pagarbatu (Foto: hotchocalate.wordpress.com/sopopanisioan.blogspot.com)
Undakan ketiga, puncak punden berundak situs megalitikum Pagarbatu (Foto: hotchocalate.wordpress.com/sopopanisioan.blogspot.com)

Undakan ketiga: puncak yang sakral

Undakan ketiga adalah puncak punden, pucuk bukit yang diratakan. Di situ terdapat tinggalan-tinggalan arkeologis terkait ritus pemujaan dan mistisisme dalam religi asli Batak.

Masuk dari arah utara, di sebelah kiri puncak tangga masuk undakan itu, terdapat batu wadah air untuk cuci kaki. Itu penanda puncak itu area sakral. Setiap orang yang naik ke situ wajib cuci kaki dulu.

Batu wadah cuci kaki dan susunan batu tempat duduk di sisi kiri tangga masuk ke puncak punden berundak Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Batu wadah cuci kaki dan susunan batu tempat duduk di sisi kiri tangga masuk ke puncak punden berundak Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Di sebelah kiri batu wadah cuci kaki itu terdapat sejumlah lempeng batu, tersusun membentuk struktur tempat duduk. Mungkin itu batu tempat duduk raja dan ulubalang, sekaligus batu tempat persidangan.

Arca menhir Pangulubalang (depan, kanan), lesung batu lima mata (tengah, kiri) dan makam batu atau sarkofagus (belakang) di situs Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Arca menhir Pangulubalang (depan, kanan), lesung batu lima mata (tengah, kiri) dan makam batu atau sarkofagus (belakang) di situs Pagarbatu (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Tinggalan megalitik utama berada di sisi selatan area sakral itu. Di sana secara berdekatan terdapat makam batu (sarkofagus), arca menhir pangulubalang (penjaga kampung), dan lesung batu lima mata (aslinya enam mata).

Makam batu itu berupa batu monolit yang bagian atasnya dikeruk membentuk liang lahat berbentuk persegi empat. Ke dalam liang itu kemudian dimasukkan tulang-belulang raja Pagarbatu yaitu Ompu Tarhuak Situmorang. Makam itu kemudian diberi penutup batu berbentuk trapesium yang melengkung seperti perahu. Itu nemang simbol perahu, kendaraan roh orang mati menuju Banua Ginjang.

Pada bagian depan tutup batu dan dinding depan makam ada ukiran jorngom (wajah raksasa) dan, paling bawah, ukiran gaja dompak (muka gajah). Ukiran wajah-wajah seram itu dimaksudkan untuk menakuti siapa atau apa saja yang menghalangi perjalan roh orang mati ke Banua Ginjang.

Sedikit ke sebelah barat makam batu ada menhir arca pangulubalang, pengawal atau penjaga kampung berwajah tiga. Tiga ukiran wajah itu mungkin merepresentasikan tiga dewata tinggi Batak yaitu Bataraguru, Debatasori, dan Mangalabulan. Lewat arca pangulubalang itu diharapkan para dewata tinggi memberi perlindungan pada kampung, warga, pertanian, dan ternak. 

Detail lesung batu lima mata (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Detail lesung batu lima mata (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Diantara makam batu dan arca pangulubalang terdapat sebuah lesung batu bermata (lubang) lima. Lesung itu berfungsi mendukung pelaksanaan ritus syukuran panen di sana. Sekaligus dalam ritus itu dimohonkan keselamatan dan rejeki kepada Mulajadi Nabolon.

Dalam pelaksanaan ritus tersebut, raja memerintahkan setiap keluarga membawa sedikit gabah hasil panen ke atas bukit untuk ditumbuk pada lesung batu tadi. Beras hasil tumbukan itu ditanak dan dimakan bersama oleh warga, lengkap dengan lauk-pauknya.

Secara khusus arca pangulubalang, juga Boru Nagojong, ikut diberi "makan". Caranya sejumput beras di masukkan ke dalam lubang-lubang buatan yang terdapat pada arca itu. Dengan demikian roh yang terdapat pada arca itu tetap hidup dan mau menjalankan fungsinya.

Dahulu, menurut cerita, ke dalam lubang arca pangulubalang secara khusus diteteskan minyak yang diambil dari tubuh kurban manusia. Kurban manusia itu adalah orang kampung lain yang diculik atau takluk dalam perang, lalu diminta untuk secara sukarela mau dijadikan pangulubalang.

Arca menhir Si Boru Nagojong di puncak punden (Foto: Facebook Badan Riset Inovasi Nasional CWS Medan)
Arca menhir Si Boru Nagojong di puncak punden (Foto: Facebook Badan Riset Inovasi Nasional CWS Medan)

Terakhir, di sebelah timur, adalah arca Boru Nagojong. Arca batu ini adalah kelengkapan pengadilan terhadap tersangka penjahat. Jika tersangka tidak mengaku, maka dia diminta margana, bersumpah sambil memegang batu Si Boru Nagojong. Isi sumpahnya, jika benar dia pelaku kejahatan, maka perutnya akan membusung seperti perut Si Boru Nagojong. Jika benar dia penjahatnya, maka dalam waktu tak berapa lama perutnya akan menggembung. 

Makam batu tempat tulang-belulang Raja Ompu Tarhuak Situmorang, Raja Pagarbatu/Tanjungan (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)
Makam batu tempat tulang-belulang Raja Ompu Tarhuak Situmorang, Raja Pagarbatu/Tanjungan (Tangkapan layar Youtube Jhonny Siahaan)

Hasahatan: Menunggu Inisiatif BPODT

Pagarbatu adalah situs megalitikum Batak tua yang sangat lengkap. Tinggalan arkeologis pada situs itu menggambarkan secara lengkap ekosistem manusia Batak tempo dulu. Sistem sosial, sistem religi, sistem hukum, dan sistem ekonomi bisa terungkapjan dengan baik.

Sayangnya situs ini kini agak terbengkalai. Jika ada yabg telag dilakukan, maka itu adalah pengerasan jalan ke situs itu dengan paving block. Lalu Dinas Pariwisata pernah membersihkan jalan dan area situs itu. Balai Arkeologi Medan juga sudah melakukan penggalian di sana. 

Sebenarnya Pagarbatu sudah dimasukkan sebagai obyek wisata sejarah/budaya di Samosir. Tapi karena kurang serius digarap, pamornya tenggelam ditelan tinggalan megalitikum Tomok dan Siallagan. Padahal tinggalan arkeologis Pagarbatu sejatinya lebih lengkap dan lebih representatif untuk keperluan wisata sejarah budaya Batak.

Agak aneh juga mengapa situs ini luput dari perhatian Badan Pengurus Geopark Kaldera Toba (BPGKT). Padahal dengan keberadaan punden berundak, Parik Debata, makam batu, dan arca-arca batu menhir di sana, Pagarbatu itu selayaknya menjadi salah satu geosite Kaldera Toba.

Sama anehnya, situs ini juga luput dari perhatian Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT). Padahal bila para pengelola itu berdiri di gigir tebing The Kaldera Resort di atas lembah Desa Sigapiton, lalu melayangkan pandangan ke seberang danau di barat, bukit Pagarbatu akan terlihat dengan jelas.

Bagi BPODT, Pagarbatu itu sebenarnya semacam gajah di pelupuk mata tapi tak kelihatan. Justru kutu di seberang pulau yang terlihat. Maka BPODT terlibat dalam pembangunan Jembatan Tanopongggol, Terusan Tanoponggol, dan Waterfront City di Pangururan yang jauh di mata. Tapi Pagarbatu yang punya potensi mendunia itu terabaikan dan dibiarkan menghutan kembali.

Jika harus memilih antara BPGKT dan BPODT, maka saya lebih menunggu insiatif badan tersebut terakhir ini untuk menata ulang Pagarbatu sebagai obyek wisata situs budaya megalitikum Batak Toba. Alasannya BPODT memiliki jaringan investor yang luas dan kuat. Investasi diperlukan untuk mengembangkan situs Pagarbatu menjadi destinasi wisata sejarah budaya etnis kelas dunia.

Setelah menata situs tersebut, BPODT diharapkan bisa mengintegrasikan Pagarbatu ke dalam ekosistem wisata The Kaldera Resort. Situs itu dijadikan obyek wisata prioritas bagi pengunjung The Kaldera Resort Untuk memfasilitasinya, BPODT bisa bersinergi dengan pengusaha angkutan danau di Desa Sigapiton, untuk menyediakan kapal penyeberangan ke bontean Pagarbatu. (eFTe)

Rujukan:

[1] W. Marbun, A. Barus, dan R. Damanik, "Legenda Pagar Batu diDesa Pardomuan Kecamatan Samosir: Kajian Sosiologi Sastra", Jurnal Sastra Asas Universitas Negeri Medan Vol.11 No. 1 (2022), unimed.ac.id.

[2] Lihat: N. Siregar, "Sekilas Daerah Wisata Pagar Batu, Lontung," alusitaotoba-blog.tumblr.com; Jhonny Siahaan, "Situs Pagar Batu Pardomuan", Kanal Youtube, 21 Mei 2024; A.S. Singarimbun, "Fungsi Situs Pagar Batu di Desa Pardomuan, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara," jurnal.harianregional.com, 10 September 2015; "Jejak Peradaban di Pagar Batu, Samosir," sopopanisioan.blogspot.com/hotchocolate.wordpress.com (2014).

[3] Ketut Wiradnyana, "Pola Makna Megalitik Damosir sebagai Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba," Balai Arkeologi Medan/researchgate.net (Desember 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun