Inti budaya Batak adalah padi sawah. Karena itu konsep "makan" dalam masyarakat itu tak bisa lain kecuali menunjuk pada pangan "nasi". Orang Batak belum merasa makan jika belum makan nasi.Â
Mie gomak, dengan demikian, bukan substitusi nasi bagi orang Batak. Sekalipun bahan baku mienya terbikin dari terigu.
Orang Batak di lingkar Kaldera Toba lazimnya makan mie gomak sebagai makanan antara. Entah itu antara sarapan dan makan siang (brunch) atau antara makan siang dan makan malam (makan sore).
Pengalamanku tahun 1960-an sampai 1970-an di Toba bisa memberi gambaran. Tahun 1960-an tiap hari Sabtu pagi kaum ibu di kampungku, Panatapan (pseudonim) pergi ke Onan Tigaraja, Parapat. Tujuannya menjual hasil bumi, lalu uangnya untuk membeli kebutuhan hidup seminggu dan lain sebagainya.
Menjelang tengah hari setelah urusan jual-beli rampung, lazim ibu-ibu itu mampir ke penjaja mie gomak di pasar. Lalu makan rame-rame di situ. Aku pernah ikutan beberapa kali.
Aslinya, sebelum muncul kedai-kedai mie gomak, mie khas Batak itu memang dijajakan di onan, pasar mingguan. Kalau mau makan mie gomak, ya, harus pergi ke onan.
Pada paruh kedua 1970-an mie gomak tak lagi hanya dijual di onan. Kedai-kedai makan dan kantin-kantin juga telah menyajikan mie gomak.
Waktu itu aku bersekolah di SMAN Narumonda, Porsea. Kantin sekolah itu menyajikan mie gomak kuah juga. Lazim juga disebut mitiao -- mungkin pelafalan mie tiaw ala Batak.Â
Saat istirahat pukul 10.00 WIB kami, para murid, biasa jajan mie gomak di kantin itu. Kadang-kadang kami makan mie gomak dengan "lauk" pisang goreng.
Jangan heran. Orang Batak memang tak makan mie gomak dengan taburan kerupuk di atasnya. Tapi makan dengan pelengkap gorengan. Entah itu pisang goreng, singking goreng, atau lainnya.