Inilah masalah sosio-psikisku setiap kali berkunjung ke satu kota. Sulit menahan diri untuk tak mencicipi kuliner setempat yang menerbitkan liur.
Rasanya serupa anak batita yang baru saja bisa menjejak, belajar berjalan. Abai terhadap risiko tersandung, terantuk, terjerembab, dan terpelanting.
Begitupun aku, abai atas risiko berbagai jenis kuliner terhadap kesehatan seorang lelaki lansia. Bahwa makanan berlemak tinggi bisa mengurangi usia, atau sekurangnya menguras tabungan untuk membayar layanan rumah sakit.
Pokoknya, soal makanan aku susah diingatkan, bahkan oleh orang terkasih. Bukannya tak mau mendengar. Cuma ingin bebal saja.
Seperti pada hari Rabu  lalu (2/5/2024) di Solo, kota para raja, presiden, dan wakil presiden. Alir liurku harus dipuaskan di pinggir jalan.
Kuliner "Arus Bawah"
Sejatinya aku ingin membayar rindu yang masih terutang pada soto Triwindu. Tapi Rabu lalu dia libur. Jadi utang rindu tak terlunasi.
Tapi kemudian terpikir betapa gak asyiknya menikmati kuliner "arus utama" (mainstream). Semacam soto Gading, nasi liwet Wongso Lemu, timlo Sastro, sate kambing Bu Hj Bejo, bakmi Pak Dul dan lainnya yang sudah menjadi penciri Solo.Â
Pikirku apalah nilai kejutnya bila makan di situ. Paling juga cuma bisa berbagi cerita sudah menikmati kuliner yang enak tapi mahal -- ana rasane ana regane. Atau sedikit bisa menyombong pernah makan soto dan sate kesukaan presiden. Syukur-syukur duduk di kursi yang pernah diduduki presiden.
Kurang lebih itu semacam kehebohan teman-temanku sepulang liburan dari pantai-pantai utama Jawa-Bali. Ada dari Anyer, Pangandaran, Parangtritis, Â Kuta, dan Seminyak. Ketika kuberitahu aku dan keluarga baru pulang dari pantai Pameungpeuk, semua terdiam, heran, tak tahu di mana itu. Senang rasanya merasa menang.Â