Masih di area puncak, terdapat Aek Tala-tala, danau mini yang berada di suatu cekungan serupa lembah kawah. Danau ini dipercaya sebagai pemandian Raja Batak dan anak-cucunya. Juga pemandian dewi-dewi yang turun dari khayangan.Â
Aek Tala-tala kini menjadi tempat pemujaan kepada Mulajadi Nabolon dan leluhur Batak. Di tepi baratnya dibangun mesbah segi tiga, tempat meletakkan persembahan. Lalu dekat ke arah barat terdapat Batu Parrapotan, suatu lempeng batu lebar yang kini digunakan sebagai tempat berdoa.
Menuruni lereng ke arah barat laut, pada pinggang gunung terdapat situs Batu Sawan. Batu ini berbentuk cawan raksasa yang menampung aliran air berasa jeruk purut dari atasnya. Banyak orang yang berdoa mohon kesembuhan di situ. Airnya digunakan sebagai medium penyembuhan, diminum, direcik di kepala, atau dibasuhkan ke wajah.
Turun lagi terus ke arah barat daya, terdapat situs Batu Hobon. Batu berbentuk peti besar ini dipercaya sebagai tempat penyimpanan barang pusaka milik keluarga Guru Tateabulan. Situs ini juga kini menjadi tempat pemujaan kepada Mulajadi Nabolon dan leluhur. Â Di sana sekarang telah berdiri Sopo Tateabulan yang berfungsi sebagai sebagai museum sejarah Batak dan rumah doa.Â
Dilihat dari segi mitologi dan sakralitas, sekurangnya dari sudut pandang religi asli Batak, Pusukbuhit itu sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Gua Maria Ina Batak. Tinggal bagaimana mengintegrasikan semua situs-situs sakral itu ke dalam jalur ziarah rohani Gua Maria. Semisal menempatkannya sebagai perhentian dalam 14 perhentian doa Jalan Salib hingga ke Gua Maria di puncak gunung.
Dengan demikian Gua Maria Ina Batak di Pusukbuhit akan menjadi tempat ziarah rohani inkulturatif. Sakralitas agama asli dan segala simbolnya diadopsi untuk menguatkan sakralitas Debata Sitolu Sada, Tritunggal Maha Kudus menurut keyakinan imani agama Kristiani. Â Bunda Maria di situ diposisikan sebagai perantara umat kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Putera.
Hasahatan
Dalam kotbahnya pada Perayaan Paskah Ekumene tanggal 9 April 2007 di Sijambur Nabolak, sebuah lapangan di lereng timur Pusukbuhit, di hadapan ribuan hadirin yang terdiri dari umat berbagai denominasi Protestan, umat Katolik, Parugamo Malim, dan lain-lain, Mgr. Anicetius B. Sinaga, OFM Cap, Uskup Keuskupan Agung Medan mengatakan:
"Hutonggo, hupio, hupangalualui ma Ho, ale Mulajadi Nabolon, na hinaporseaan ni
Batak Sitompa langit dohot tano on, songon panghaporseaon Kristen di Debata
Sitolusada, sitompa langit dohot tano. Di si porsea do hami holan sada do Debata na tutu
jala na adong, umbahen sada do Mulajadi Nabolon dohot Debata Sitolusada ni Kristen, nang pe di panggoari dohot pangarajumion marlebanleban."Â [1]
Artinya: "Aku berdoa, menyebut, mengadu kepada Mu, ya Mulajadi Nabolon yang dipercaya Batak sebagai pencipta langit dan bumi ini, sama seperti kepercayaan Kristen akan Allah Tritunggal, Pencipta langit dan bumi. Di situ kami percaya hanya ada satu Allah yang benar dan yang hidup, sehingga Mulajadi Nabolon adalah satu dengan Allah Tritunggal yang dipercaya Kristen, sekalipun penamaan dan pemaknaannya berbeda-beda."
Kutipan kotbah itu menyatakan sikap imani umat Katolik bahwa sakralitas Pusukbuhit menurut religi asli Batak dapat diterima dan dimaknai baru oleh Gereja Katolik sebagai sesuatu yang lebur ke dalam sakralitas Allah Tritunggal dalam ajaran iman Katolik.Â