Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pangururan, Sebuah Kota Berwajah Ganda di Kaldera Toba

12 April 2024   20:49 Diperbarui: 13 April 2024   11:30 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Sebaran Bius di Samosir berdasar penataan Pemerintah Kolonial Belanda pada Abad-19 (Foto: wikimedia.commons)

Beberapa waktu lalu, seorang teman semasa SMP yang kini bermukim di Tomok, Samosir membagikan jadwal pertunjukan Air Menari dan Air Margondang di Waterfront City Pangururan. Sebagai seorang pegiat sosial setempat, dia rupanya berkepentingan memasarkan wisata Samosir.

"Ah, bagus sekali," sorakku dalam hati. Sebab terpikir olehku, warga Kaldera Toba kini tak perlu lagi berangan-angan pergi ke Jakarta, demi menonton air mancur menari di pelataran Monas.

Bagi warga Kaldera Toba, selama 50 tahun sejak Air Mancur Menari dibangun pada 1974 di Monas, air menari hanyalah cerita perantau yang pulang dari Jakarta. Atau belakangan hari, berupa video yang ditayangkan di televisi, sebelum kemudian di ragam media sosial.

Tapi kini, sebaliknya, mungkin orang Jakartalah, sekurangnya Batak rantau, yang datang ke Pangururan untuk menonton pertunjukan air menari dan margondang. Lalu warga Kaldera Toba umumnya, Pangururan khususnya mungkin berujar dengan bangga, "Kami punya air mancur menari dan margondang yang indah." 

Tangkapan layar YouTube Syahrial Ahmad
Tangkapan layar YouTube Syahrial Ahmad
Air menari dan margondang itu hanyalah satu dari sekian spot wisata di jalur Waterfront City Pangururan. Berada di garis pantai Teluk Aeknatio, jalur sepanjang 1.5 km itu menyajikan berbagai spot wisata yang bisa dinikmati pengunjung sambil jalan pagi atau sore.

Tak pelak lagi, Waterfront City itu adalah wajah modern Pangururan, sebuah kota tua yang untuk waktu yang sangat lama hanya mendapat remah-remah pembangunan. 

Rumah pejabat controleur onderafdeling Samosir pada masa kolonial (1910-an) di Pangururan. Samosir (Foto: Museum Wereld Amsterdam/Museum Nasional Stichting Werekdculturen/Koleksi Tropenmuseun via wikimedia.org)
Rumah pejabat controleur onderafdeling Samosir pada masa kolonial (1910-an) di Pangururan. Samosir (Foto: Museum Wereld Amsterdam/Museum Nasional Stichting Werekdculturen/Koleksi Tropenmuseun via wikimedia.org)

Kondisi terakhir (2023) rumah dinas Controleur Onderafdeling Samosir yang kini menjadi rumah dinas Bupati Samosir (Foto: kajianberita.com)
Kondisi terakhir (2023) rumah dinas Controleur Onderafdeling Samosir yang kini menjadi rumah dinas Bupati Samosir (Foto: kajianberita.com)

Dari Huta Menjadi Kota

Sebagaimana kota tua lainnya di lingkar Kaldera Toba, Pangururan bermula dari sebuah huta, perkampungan komunitas Batak. Tidak ada catatan sejarah lokal tentang asal-muasal kota ini. Karena itu tak diketahui persis tahun berapa orang Batak mulai bermukim di situ.

Tapi sebuah perkiraan dapat dibuat dengan cara menghitung generasi tiga marga raja di sana yaitu Sitanggang, Simbolon, dan Naibaho. Tiga marga ini sama-sama Batak generasi keenam, dihitung dari Siraja Batak pada garis turunan Isumbaon (Sumba). Itu artinya mereka sudah bermukim di Pangururan pada tahun ke-300 sejak komunitas pertama Batak. Diperkirakan umur etnis Batak baru 1,000 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan perkampungan Pangururan berdiri pada tahun 1300-an atau abad ke-14.

Pangururan di masa lalu disebut sebagai Tano Ni Sumba . Karena dihuni oleh belahan komunitas Batak turunan Raja Isumbaon. Sitanggang, Simbolon, dan Naibaho adalah keturunan Isumbaon. Sementara wilayah lembah di sebelah barat Gunung Pusukbuhit, disebut Tano Ni Lontung, karena dihuni oleh belahan komunitas Batak turunan Raja Tateabulan atau Ilontungon (Raja Altong), khususnya Limbong, Sagala, dan Situmorang.

Menurut hikayat marga-marga Batak, seseorang yang dikenal sebagai Ompuraja Pangururan adalah Raja Sitanggang, putra Raja Natanggang (Sitempang), cucu Tuan Sorbadijulu. Berdasar kisah ini, kuat dugaan pemukim pertama di Pangururan adalah komunitas marga Sitanggang.

Raja Sitanggang, gelar Raja Pangururan IV, diperkirakan berdiam di desa Saitnihuta (atau mungkin di Lumban Suhi-suhi) sekarang, di Pangururan bagian utara, di kawasan pantai Tao Silalahi. Di tempat itu dulu terdapat Onan Tiga Urat, suatu pasar tradisional besar, pusat niaga di Samosir utara. Onan ini terbilang Onan Namarpatik, pasar yang dilindungi hukum adat, di bawah wilayah adat Bius Pangururan -- federasi kampung se-Pangururan. Raja Sitanggang adalah Raja Bius Pangururan di masa itu.

Keramaian Onan Tiga Urat, Pangururan tahun 1910 (Foto: Koleksi Tropenmuseum via wikimedia.commons) 
Keramaian Onan Tiga Urat, Pangururan tahun 1910 (Foto: Koleksi Tropenmuseum via wikimedia.commons) 

Setelah pemerintah kolonial Belanda menaklukkan Tanah Batak tahun 1907, Pangururan dijadikan ibu kota Onderafdeling Samosir. Sejak itu Pangururan mulai dikembangkan pemerintah kolonial sebagai sebuah kota, pusat politik dan ekonomi di utara Samosir. 

Di bidang ekonomi, pemerintah kolonial membangun terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol tahun 1907-1910 (diresmikan 1913). Dengan dibangunnya terusan itu, maka Pangururan menjadi pusat niaga bagi kampung-kampung di utara Samosir, pesusir Tao Silalahi dan kampung-kampung di sisi barat Samosir dan danau Toba.

Pada pertengahan 1930-an, pemerintah kolonial juga mencoba mengembangkan industri tenun berbasis ATBM di Pangururan, seperti dilakukan di Balige. Sayangnya industri tenun di Pangururan tidak berkembang. Mungkin kalah bersaing dengan industri tenun Balige yang maju pesat.

Bersamaan dengan itu, mulai tumbuh toko-toko niaga hasil bumi, sandang, perabot rumah, dan peralatan pertanian di Pangururan. Itu menjadi daya tarik sendiri yang pelan-pelan mengikis eksistensi Onan Tiga Urat. 

Di bidang politik, pemerintah kolonial melakukan politik pecah-belah. Untuk memutus dominasi marga Sitanggang, Bius Pangururan dipecah tiga menjadi Bius Sitanggang, Bius Simbolon, dan Bius Naibaho. 

Pemecahan bius itu memungkinkan marga Naibaho membuka Onan Tajur di area ulayatnya, di ujung selatan Tano Ponggol. Onan ini masih hidup sampai akhir 2010-an, walau pemerintah daerah sudah membangun onan baru di Desa Pardomuan I, arah tenggara Onan Tajur.

Tak sampai di situ, dalam rangka penataan pemerintahan lokal, tiga bius di atas dimekarkan lagi menjadi antara lain bius-bius Tanjung Bunga (Nadeak, di seberang Pangururan), Buhit (Sitanggang), Rianiate (Sitanggang dan Simbolon), Sabungan Nihuta (Sitanggang, Simbolon, Simalango) dan Ronggur Nihuta (Sitanggang, Simbolon, Naibaho).

Peta Sebaran Bius di Samosir berdasar penataan Pemerintah Kolonial Belanda pada Abad-19 (Foto: wikimedia.commons)
Peta Sebaran Bius di Samosir berdasar penataan Pemerintah Kolonial Belanda pada Abad-19 (Foto: wikimedia.commons)
Tak dapat dipungkiri, sejak Pangururan ditetapkan menjadi ibukota Onderafdeling Samosir, dan kantor Controleur ditempatkan di tepi pantai kampung Tajur, bagian dari Kelurahan Pasar Pangururan sekarang, ekonomi kota kecil itu berkembang lebih cepat. Pembangunan Terusan Wilhelmina atau Tano Ponggol telah menjadikan Pangururan terbuka ke kawasan utara dan selatan danau. Bersamaan dengan itu toko-toko aneka keperluan mulai tumbuh di kota itu. Jalan-jalan juga diperbaiki. Onan Tajur berkembang sebagai pusat niaga baru, meredupkan pamor Onan Tiga Urat secara perlahan tapi pasti. 

Pangururan mengalami perubahan yang terbilang revolusioner, dari parhutaan (kumpulan kampung) menjadi perkotaan kecil. Sepanjang masa penjajahan Belanda, dan sebenarnya hingga kini, Pangururan menjadi satu-satunya kota di Pulau Samosir.

Setelah Indonesia merdeka (1945) dan Kabupaten Tapanuli Utara terbentuk (1956), Pangururan menjadi kota kecamatan yang terpencil, jauh dari Tarutung sebagai ibukota kabupaten. Karena berada jauh di ujung utara wilayah kabupaten, kota Pangururan kurang mendapat sentuhan pembangunan. Barulah setelah Kabupaten Toba Samosir terbentuk (1999), dan terutama setelah berdirinya Kabupaten Samosir (2003), pembangunan kota Pangururan mulai menggeliat. Kota ini mengalami transformasi dari kota kecamatan menjadi ibukota kabupaten. 

Perkembangan pesat terjadi dalam beberapa tahun terakhir, menyusul ditetapkannya Danau Toba sebagai Destinasi Pariwisata (Super) Prioritas, dan Pangururan ditargetkan menjadi Key Tourism Area Geologi. Sebagai area wisata Geologi, di bawah koordinasi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Pangururan akan dikembangkan secara bertahap dalam 25 tahun ke depan (2020-2045). 

Rencana Pengembangan Pangururan sebagai Key Tourism Area Geologi (Sumber: bpodt.id)
Rencana Pengembangan Pangururan sebagai Key Tourism Area Geologi (Sumber: bpodt.id)

Pembangunan Waterfront City Pangururan, secara bersamaan dengan Revitalisasi Terusan Tano Ponggol serta Pembangunan Jembatan Tano Ponggol, mwnjadi prioritas. Ketiga proyek itu -- secara keseluruhan membentuk waterfront city -- sudah selesai dan kini memberi wajah baru, wajah modern, di pintu masuk kota Pangururan baik dari darat maupun dari danau.

Dari darat, setelah turun dari ketinggian Tele, lalu menyusuri kaki Gunung Pusukbuhit, pengunjung akan disambut oleh Jembatan Tano Ponggol yang ikonik, melintang total 382 meter di atas Terusan Tano Ponggol yang dalam dan jembar.

Sementara dari danau, masuk dari Teluk Aeknatio di sisi barat kota, pengunjung akan disambut oleh jalur aneka spot wisata Waterfront City sepanjang 1.5 km. Dari tengah teluk, wajah kota Pangururan terlihat sangat modern, tak kalah dari Pulau Sentosa Singapura.

Waterfront City Pangururan dilihat dari arah selatan kota (Foto: instagram.com/Jhonny Siahaan)
Waterfront City Pangururan dilihat dari arah selatan kota (Foto: instagram.com/Jhonny Siahaan)

Pertunjukan Air Menari di Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube Satu Tiga Lima)
Pertunjukan Air Menari di Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube Satu Tiga Lima)

Wajah Ganda Kota

Waterfront City Pangururan itu, dengan jembatan dan jalur pantai yang ikonik itu, adalah wajah depan Pangururan yang serba modern. Ibarat sebuah koin, Waterfront City adalah sisi depan yang menampilkan wajah cantik gadis yang bersolek.

Di jalur Waterfront City, bukan hanya air menari dan margondang yang bisa dinikmati. Jalur itu dirancang sebagai galeri seni terbuka. Di situ bisa dinikmati patung Boru Saniangnaga dan Boraspati Ni Tano, dewi air dan dewa tanah dalam mitologi Batak. Hanya saja, entah dengan alasan apa, sosok Boru Saniangnaga kok ya seperti sosok naga dalam mitologi Cina.

Patung Boru Saniangnaga dan Boraspati Ni Tano di Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube bhumy)
Patung Boru Saniangnaga dan Boraspati Ni Tano di Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube bhumy)

Waterfront itu menjadi semacam jalur One Stop Touring. Di satu kawasan bisa menikmati beragam obyek dan atraksi. Selain patung Boru Saniangnaga dan Boraspati, masih ada sejumlah obyek lain seperti Taman Pustaha, Aek Natio, Taman Rohani, Galeri Samosir, dan Batuan Geologi Toba. Juga ada atraksi lain seperti pertunjukan di Panggung Apung, video The Magnificent Toba, dan (sesuai kalender) perlombaan Solu Bolon.

Di belakang jalur Waterfront itu, diintergrasikan juga bangunan yang tergolong warisan kota. Antara lain rumah dinas atau kantor Controleur Onderafdeling Samosir, berupa rumah panggung, dan Gereja Katolik Santo Mikhael Pangururan yang mengadopsi arsitektur dan ornamen ukir rumah adat Batak Toba.

Dua bangunan "arisan kota" kota itu bisa dianggap sebagai "perbatasan" antara Waterfront sebagai wajah modern kota, dan pemukiman serta pertokoan di belakangnya sebagai wajah asli Pangururan. Itulah sisi belakang koin, wajah kota yang masih menampilkan gejala stagnasi dalam pembangunan.

Memang tak dipungkiri adanya kemajuan, berupa bangunan pertokoan, hotel-hotel, dan restoran atau cafe baru. Itulah sentuhan pembangunan dalam sepuluh tahun terakhir.

Salah satu sudut di kota lama Pangururan, wajah keterbelakangan (Foto: Tangkapan layar YouTube Mangapul JMH Channel)
Salah satu sudut di kota lama Pangururan, wajah keterbelakangan (Foto: Tangkapan layar YouTube Mangapul JMH Channel)

Salah satu sudut Onan Baru Pangururan, wajah kumuh pasar tradisional (Foto: Tangkapan layar YouTube Tambunan Edward)
Salah satu sudut Onan Baru Pangururan, wajah kumuh pasar tradisional (Foto: Tangkapan layar YouTube Tambunan Edward)

Tapi tak bisa dipungkiri juga masih adanya pemandangan lama. Jalanan yang semrawut, bangunan toko dan rumah tua yang tak tertata, pasar tradisional yang semrawut, dan jalan-jalan kota yang kurang terawat. Itulah wajah belakang kota Pangururan, yang menampakkan rona keterbelakangan. 

Itu semua cermin budaya asli Batak di Pangururan yang belum sepenuhnya siap berubah untuk menjamu wisatawan. Entah karena belum disiapkan, atau karena mayoritas warga memang tidak atau belum merasa bagian dari sektor wisata yang sedang dibangun di sana.

Jauh di belakang lagi, di pinggir timur dan selatan kota, masih bertahan wajah tradisional Pangururan. Di sana tersebar perkampungan tua asli dengan rumah-rumah adat Batak. Lengkap dengan kegiatan pertenunan ulos yang digerakkan kaum wanita.

Satu dua dari banyak kampung tua itu telah dipoles sebagai obyek wisata. Semisal kampung tenun Hutaraja, Desa Lumban Suhi-suhi Toruan. Presiden Jokowi secara khusus pernah berkunjung ke sana tahun 2019. Sejumlah rumah adat di desa itu telah direnovasi untuk menjadi homestay bagi wisatawan. 

Tapi Lumban Suhi-suhi Toruan hanya satu kasus. Mungkin itu diniatkan sebagai eksemplar kisah sukses kampung wisata ulos. Selebihnya, kampung-kampung asli yang lain, masih seperti yang dulu.

Presiden Jokowi di antara ibu-ibu perajin tenun ulos Batak di Hutaraja, Lumban Suhi-suhi Toruan, Pangururan Samosir pada tanggal 30 Juli 2019 (Foto: setkab.go.id)
Presiden Jokowi di antara ibu-ibu perajin tenun ulos Batak di Hutaraja, Lumban Suhi-suhi Toruan, Pangururan Samosir pada tanggal 30 Juli 2019 (Foto: setkab.go.id)

Hasahatan

Pangururan kini sedang berbenah menjadi kota wisata "kelas dunia" dengan tema geologi pembentukan Kaldera Toba. Waterfront City Pangururan, termasuk Terusan Tano Ponggol dan Jembatan Tano Ponggol, adalah bagian dari upaya pemerintah mewujudkan kualitas "kelas dunia" itu. 

Tak hanya itu. Pemerintah juga menghelat event kelas dunia di sana. Semisal Kejuaraan Dunia Jetsky tahun 2023 yang lalu. Bahkan kejuaraan F1H2O yang sudah dua kali dilakukan di Balige, rencananya akan dipindah juga sirkuitnya ke Pangururan.

Tapi satu hal yang perlu dicatat, pembangunan infrastruktur wisata kelas dunia dan gelaran kejuaraan dunia olahraga air tidak dengan sendirinya menjadikan Pangururan destinasi wisata kelas dunia. Lagi pula itu semua bukan prakarsa dari Pemda Samosir, melainkan dari pemerintah pusat.

Jalan santai di jalur pedestarian Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube bhumy)
Jalan santai di jalur pedestarian Waterfront City Pangururan (Foto: Tangkapan layar YouTube bhumy)

Porsi Pemda Samosir adalah pengembangan wajah belakang. Pembenahan bagian kota lama yang masih kumuh dan semrawut. Juga penataan kampung-kampung asli Batak agar menjadi layak wisata. 

Tapi lebih penting dari itu semua adalah pelibatan warga Pangururan sebagai "tuan rumah" wisata yang ramah, jujur, resik, dan siap melayani. Ini memerlukan transformasi budaya dari budaya tani yang "merajakan diri sendiri" ke budaya wisata yang "merajakan orang lain". Itu pasti berat tapi harus.

Pengembangan "wajah belakang" kota, dan transformasi budaya tani ke wisata, itulah kunci pewujudan Pangururan sebagai destinasi wisata kelas dunia. Dan itu adalah tanggungjawab Pemda Samosir.

Terakhir, Key Tourism Area untuk Pangururan itu adalah Geologi. Karena itu janganlah pula terlalu sibuk bikin berbagai macam infrastruktur, obyek, dan atraksi wisata yang justru mengubur keunggulan geologis atau geowisata Pangururan. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun