Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bonandolok, Relung "Shangri-La" di Kaldera Toba

27 Maret 2024   04:49 Diperbarui: 27 Maret 2024   08:50 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barisan rumah adat Batak di sebuah kampung tua di Bonandolok (Sumber: YouTube Jhonny Siahaan).

"Jika ada satu tempat yang kuingin datangi sebelum menutup mata maka itu pasti Bonandolok."

Tak mudah bagiku membayangkan serenitas dan keelokan Shang-ri La dalam novel Lost Horizon anggitan James Hilton.

Dalam novel tahun 1933 itu Hilton mengambarkan Shangri-La sebagai lembah yang mistis dan harmonis di Pegunungan Kunlun, Tibet. Dia adalah surga dunia, tempat warga hidup bahagia, awet muda panjang jmur, di bawah tuntunan seorang Lama dari sebuah biara di sisi barat pegunungan.

Sampai kemudian, lewat foto-foto dan film-film di dunia maya, ke hadapanku disajikan keindahan surgawi Bonandolok, sebuah desa pada suatu lembah tersembunyi di dinding barat Kaldera Toba.

Komposisi hamparan padi menguning, perkampungan, dan air terjun Sitapigagan dan Sibontar pada di tebing selatan adalah lukisan keindahan Bonandolok yang tiada duanya (Sumber: YouTube Jhonny Siahaan) 
Komposisi hamparan padi menguning, perkampungan, dan air terjun Sitapigagan dan Sibontar pada di tebing selatan adalah lukisan keindahan Bonandolok yang tiada duanya (Sumber: YouTube Jhonny Siahaan) 

"Ya, Tuhan. Ini dia 'Shangri-La' itu," bisikku terpana, takjub setakjub-takjubnya. 

Sudah pasti Shangri-La tak pernah ada. Itu adalah sebuah negeri rekaan Hilton. Mungkin berdasar tampilan sebuah desa lembah kecil yang indah dan damai di pegunungan Kunlun sana.

Jika demikian halnya maka aku juga bisa juga membayangkan lembah Bonandolok sebagai "Shangri-La", surga yang terselip di antara bebukitan Kaldera Toba.

"Kenapa baru sekarang aku tahu tempat ini?" Aku menyesali diri.

Sebegitu lama, Bonandolok seakan bersembunyi dariku. Padahal aku sudah mengunjungi Tongging, Paropo, dan Silalahi di utaranya. Juga menyaksikan Sianjurmula-mula, Harianboho, dan Pangururan di selatannya. 

Tapi kini tidak lagi. "Shangri-La" Kaldera Toba ini tak mungkin lagi menghindar dari pandangan mataku.

Barisan rumah adat Batak di sebuah kampung tua di Bonandolok (Sumber: YouTube Jhonny Siahaan).
Barisan rumah adat Batak di sebuah kampung tua di Bonandolok (Sumber: YouTube Jhonny Siahaan).

Sebuah Desa Tua

Bonandolok itu sebuah desa tua. Dia termasuk desa mula-mula komunitas Batak di lembah-lembah lingkar kaki Gunung Pusukbuhit, gunung sakral orang Batak.

Umur desa itu mungkin bisa diduga dari sejarah leluhur dua marga utama di sana. Marga Sagala dari belahan Tateabulan dan Siboro dari belahan Isumbaon atau Sumba. 

Jika Sagala yang pertama membuka kampung di situ, maka usia Bonandolok mungkin sudah sekitar 800 tahun. Itu dengan asumsi eksistensi orang Batak sudah 1,000 tahun dan jarak per generasi adalah 25 tahun. 

Sagalaraja adalah generasi ke-3 orang Batak. Keturunannya diasumsikan bermigrasi dari lembah Sianjurmula-mula ke Bonandolok pada abad ke 13, atau sekitar 800 tahun lalu.

Tapi jika Siboro yang lebih dulu bermukim di sana, maka usia desa itu mungkin baru sekitar 500-an tahun lalu. Siboro itu generasi ke-13 orang Batak, atau baru lahir sekitar abad ke-14 atau tahun 1300-an. Pertama marga Siboro bermukim di Desa Siboro. Keturunannya kemudian bermigrasi ke Bonandolok, mungkin sekitar akhir abad ke-15 atau atau awal abad ke-16.

Siapapun yang lebih dulu bermukim di sana, Sagala ataukah Siboro, hal itu tak mengingkari fakta Bonandolok sebagai desa tua. Cikal-bakal desa itu termasuk dalam bilangan kampung-kampung pertama orang Batak yang berdiri di lembah-lembah lingkar kaki Pusukbuhit.

Satu hal yang menarik, setelah melalui proses migrasi komunitas-komunitas Batak di masa lalu, Bonandolok kini dihuni warga dari dua belahan (moiety) Batak, Tateabulan dan Sumba. Bonandolok adalah titik temu antara "timur" (wilayah Sumba) dan "barat" (wilayah Tateabulan) Pusukbuhit.

Kedua belahan Batak itu hidup serasi di sana. Bukan baru seabad lalu. Tapi sekurangnya sejak lima abad lalu.

Lembah Bonandolok tampak dari arah air terjun Sitapigagan (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)
Lembah Bonandolok tampak dari arah air terjun Sitapigagan (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)

Ekologi Budaya Sawah

Seorang pengembara bisa berdiri di puncak Pusukbuhit untuk mengenali posisi desa ini dengan cara yang elok. Memandang ke timur akan tampak kota lembah Panguruan. 

Sebelah selatan terhampar desa lembah Harianboho. Di barat tampak desa-desa lembah Singkam dan Sianjurmula-mula, kampung pertama Batak. Lalu di utara tampak desa lembah Siboro. 

Lebih ke utara dari lembah Siboro itu, terselang oleh kampung lembah Tulas Siboro dan dua bukit semenanjung yang mengapitnya, terhamparlah lembah Bonandolok yang permai. 

Untuk melihat langsung lembah Bonandolok, pengembara tadi harus turun dari puncak Pusukbuhit lewat lereng utara. Dia harus menyeberangi lembah Siboro lebih dulu. Lalu mendaki bukit untuk kemudian turun menyeberangi lembah Tulas. Selanjutnya mendaki bukit lagi, lalu turun dan naik lagi ke sebuah bukit kecil bernama Dolok Gu -- "bukit punuk sapi".

Panorama lembah Bonandolok dipandang dari Dolok Gu (Foto: Difa Mulia via idntimes.com)
Panorama lembah Bonandolok dipandang dari Dolok Gu (Foto: Difa Mulia via idntimes.com)

Dari puncak Dolok Gu itulah keindahan surgawi Bonandolok, suatu keindahan dengan aura serenitas, bisa dinikmati dengan risiko lupa pulang ke rumah.

Keindahan yang menenangkan jiwa itu terpancarkan dari relung ekologi budaya persawahan lembah khas Kaldera Toba yang terbentang di depan mata. 

Untuk itu datanglah ke Bonandolok pada waktu yang tepat. Pada bulan-bulan Desember-Januari seusai tanam padi ketika bentang persawahan tampak laksana permadani hijau pupus. Atau pada bulan-bulan April-Mei saat hamparan padi sawah menguning, mencitrakan Bonandolok yang bermandikan butiran emas.

Jangan pula hanya memandang dari jauh. Datangi dan masuklah ke alam asri Bonandolok. Biarkan panca indera mencecap keindahan dan kedamaian. 

Pandanglah ukiran rumah adat yang magis, dedaunan padi hijau yang berombak diterpa angin danau, atau malai padi menguning yang menjanjikan panen melimpah, warna-warni bunga liar, dan liukan aliran Sungai Sitapigagan membelah desa.

Hiruplah aroma jalan tanah, lumpur sawah, batang padi, seduhan kopi, dan bau khas kerbau di tepi sungai. 

Dengarkan debur ombak di pantai, gemercik air sungai, derau air terjun Sitapigagan dan Sibontar, desau angin di pucuk pepohonan, kicau burung, lenguh kerbau, dan dendang anak-anak.

Rasakan pula sejuknya udara Kaldera Toba pada kulit, dinginnya air sungai di kaki, dan lembutnya ujung-ujung daun padi muda di telapak tangan. 

Lalu, setelah semua itu, jangan lupa mampir ke sebuah kedai untuk sekadar menyesap secangkir kopi hitam khas Tanah Batak.

Warga desa Bonandolok itu ramah -- keramahan khas Batak, tentu saja. Itu bagian yang haram dilewatkan. Berbincanglah dengan mereka di manapun bersua. Nikmati suara keras yang akrab dan senyum lebar yang ditebar.

Ekologi budaya sawah di Bonandolok adalah hasil interaksi antara tanah-air, tanaman padi, dan para petani. Keindahan dan ketenangan yang dipancarkan hamparan sawah itu adalah buah komunikasi antara ketiganya.

Pesona air terjun Sitapigagan, Bonandolok (Foto: Instagram.com@wonderlaketoba)
Pesona air terjun Sitapigagan, Bonandolok (Foto: Instagram.com@wonderlaketoba)

Air Terjun yang Sakral

Air dalam kosmologi Batak adalah zat sakral. Air berfungsi menyucikan roh dan mencuci tubuh. Selain juga, tentu saja, sumber kehidupan. Semisal untuk pengairan sawah, minum, mandi, dan cuci.

Dalam religi asli Batak. Boru Saniangnaga dipercaya sebagai dewi segala badan air. Mulai dari mata air, sungai, sampai danau Kaldera Toba. Dialah yang menciptakan banjir, ombak danau, dan ketenangan air danau. 

Karena itu warga Bonandolok, sebagaimana orang Batak umumnya, ketat menjaga sakralitas sumber air mereka. Di sana sumber air itu adalah air terjun kembar Sitapigagan dan Sibonntar. 

Sakralisasi air terjun itu dikuatkan dengan sejumlah larangan. Dilarang berbuat tak senonoh di lingkungan air terjun. Dilarang berkata-kata kotor. Dilarang mengotori air dengan sampah. 

Dikatakan juga, air terjun itu memiliki roh penunggu. Konon roh tersebut menyukai warna merah. Karena itu pengunjung air terjun dilarang mengenakan pakaian merah. Agar tehindar dari risiko diculik roh penunggu tersebut.

Karena dianggap tempat sakral, warga setempat menggunakan lokasi air terjun itu sebagai tempat berdoa kepada roh leluhur. Di pinggir dasar air terjun Sitapigagan dibangun sebuah joro, pondok doa khas religi asli Batak.

Sebuah joro, pondok untuk berdoa mohon berkah kepada roh leluhur di tepi dasar air terjun Sitapigagan, Bonandolok (Foto: Instagram.com/Satryaazmi via genpi.co)
Sebuah joro, pondok untuk berdoa mohon berkah kepada roh leluhur di tepi dasar air terjun Sitapigagan, Bonandolok (Foto: Instagram.com/Satryaazmi via genpi.co)
Ada saja orang yang datang ke situ untuk berdoa, menyampaikan permohonan kepada roh leluhurnya. Dalam religi asli Batak, roh leluhur dipercaya dapat memberi rahmat kesehatan, keselamatan, dan kemakmuran bagi keturunannya.

Jika berkunjung ke joro itu, atau satu joro lain agak ke hilirnya, dan melihat daun sirih dan jeruk purut terletak di atas batu, maka itu tandanya ada warga yang baru berdoa kepada roh leluhurnya di situ.

Bukan hanya penganut agama asli, penganut agama Kristiani juga ada yang berdoa di joro itu. Sebagaimana umumnya di Tanah Batak, ada semacam dualisme kepercayaan di Bonandolok. Warga percaya kepada Allah Tritunggal Maha Kudus dan mengakui sahala, kuasa roh leluhur sekaligus. 

Tegaknya joro di bawah air terjun dan gereja HKBP di hilirnya, di tepi sungai, mencerminkan dualisme itu. Sebuah dualusme yang telah dipelihara lebh dari separo abad.

Gereja HKBP Bonandolok di tepi sungai Sitapigagan (Foto: YouTube Samosir Vision)
Gereja HKBP Bonandolok di tepi sungai Sitapigagan (Foto: YouTube Samosir Vision)

Sakralisasi air terjun itu bukan tanpa maksud. Di satu sisi sakralisasi mengikat komunitas atas dasar kepentingan sada homban, satu sumber air. Ini mennjadi dasar integrasi sosial komunitas.

Lalu di lain sisi, sakralisasi itu juga berimplikasi aksi pelestarian sumber air. Mulai dari mata air di hulu, hutan di daerah aliran sungai, air terjun, sampai badan sungai Sitapigagan yang mengalir ke danau. Air sungai itu adalah sumber irigasi bagi persawahan, sandaran utama ekonomi Bonandolok.

Bahkan ihan, ikan Batak (Neolissochilus thienemanni) yang terdapat di sungai Sitapigagan juga dilestarikan. Hanya boleh ditangkap untuk keperluan pengobatan. Itupun harus didahului upacara mohon izin kepada roh penunggu lubuk tempat ikan itu berada.

Air terjun kembar Sitapigagan (kanan) dan Sibontar (kiri) di Bonandolok (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)
Air terjun kembar Sitapigagan (kanan) dan Sibontar (kiri) di Bonandolok (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)

Waktu Berhenti Berlari

Apakah Bonandolok sungguh semacam Shangri-La yang hilang? Tempat warga hidup damai, bahagia, dan panjang umur?

Tentu saja tidak demikian adanya. Di balik keindahan Bonandolok yang menakjubkan itu, tersembunyi juga setumpuk masalah sosial-ekonomi. Semisal kemiskinan dan ketersisihan pada sebagian warga, perselisihan soal tanah, keterbatasan akses sosionomi, dan persaingan kuasa yang menorehkan luka dan duka.

Di sebelah selatan lembah Bonandolok ada sebuah ceruk kampung bernama Sampuran. Ceruk itu terisolir. Setiap hari anak-anak Sampuran harusbolak-balik mendayung sampan ke Bonandolok untuk bersekolah. 

Di mata pelancong, anak-anak bersampan itu terlihat indah. Tapi tidak bagi anak-anak ceria itu. Bagi mereka itu adalah derita, buah dari kemiskinan akses transportasi umum.

Lembah Bonandolok yang menyihir dipandang dari arah danau (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)
Lembah Bonandolok yang menyihir dipandang dari arah danau (Foto: YouTube Jhonny Siahaan)

Tapi masalah-masalah warga Bonandolok tentu saja bukan urusan para pelancong. Mereka datang ke sana untuk mencecap keindahan, keheningan, dan kedamaian yang disajikan alam lembah iru.

Dari sisi itu, Bonandolok mungkin punya kesejajaran dengan Shangri-La yang utopis itu. Di Bonandolok waktu seakan berhenti berlari bagi para pelancong. Mereka seakan masuk ke suatu alam mistis, di mana waktu terasa terlalu singkat, padahal matahari telah terbit dan terbenam tiga kali. 

Lupa waktu. Begitulah cara keindahan dan serenitas Bonandolok memanjangkan umur para pelancong. Menjadikan mereka merasa awet muda. 

Mungkinkah itu sihir Bonandolok? Entahlah, buktikan saja sendiri. 

Pergilah ke sana, walau itu akan membuatmu enggan pulang. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun