Paling ekstrim, jika pemiliknya mati, maka beberapa orang budaknya dimatikan dan dikuburkan bersama pemiliknya itu. Sampai ke akhirat, para budak itu diharuskan untuk melayani pemiliknya.
Tapi sudah jelas fungsi utama budak dalam masyarakat Batak adalah untuk mengabdi pada pemiliknya. Para budak itu menjadi pekerja, pelayan, dan penjaga bagi keluarga pemiliknya.Â
Budak tak menerima upah dari pemiliknya. Mereka hanya diberi makan dan pakaian seadanya, umumnya dalam jumlah dan mutu yang tak memadai.
Sebagian budak, setelah kawin dengan sesama budak, diperbolehkan mendirikan rumah gubuk sendiri di tanah pemiliknya. Syaratnya, jumlah anak tangga rumah harus genap. Itu untuk membedakan dengan rumah milik non-budak yang  jumlah anak tangganya ganjil. Supaya jumlah anak tangga rumahnya genap, maka saat pemiliknya datang, budak itu harus telungkup di bawah tangga untuk menjadi anak tangga pertama.
Memang budak dalam masyarakat tempo dulu itu diperlakukan pemiliknya sangat rendah. Serendah atau bahkan mungkin lebih rendah dari hewan. Hal ini dengan kelompok Dalit di India, suatu kelompok luar kasta, yang dianggap lebih rendah dari hewan juga.Â
Saksi Bisu Perdagangan Budak
Jumlah budak dalam masyarakat Batak di masa lalu, sekurangnya sepanjang tahun 1800-an  terbilang masif. Basyral Hamidi Harahap, seorang budayawan Batak Mandailing menyebut sepertiga jumlah penduduk Mandailing-Natal pada paruh pertama abad ke-19 tergolong lapisan budak.[1] Kendati tak ada perkiraan jumlah, bisa diduga jumlah kelompok sosial hatoban, budak di wilayah Dataran Tinggi Toba juga kurang-lebih sebesar itu.
Dengan jumlah semasif itu bisa disimpulkan bahwa perbudakan adalah gejala sosial ysng lazim dalam masyarakat Batak tempo dulu. Karena budak adalah properti, benda hak milik, maka dengan sendirinya juga berkembang pranata pasar budak, tempat transaksi jual-beli budak.
Di pasar budak itu, budak diperjual-belikan seperti layaknya jual-beli hewan atau ternak. Budak-budak dijejerkan penjualnya. Pembeli datang menaksirnya. Kalau harga cocok, maka budak pindah tangan, atau pindah kepemilikan. Â
Salah satu saksi bisu perdagangan budak, terbatas di daerah Tanah Batak saja, adalah Dolok Partangisan. Atau Rura Partangisan jika merujuk lembah-lembah di kaki perbukitan.