Kaldera Toba juga soal batu, bahkan terutama soal batu. Bukan semata soal air, tanah, kayu, dan udara.
Wisata batu, sebenar-benarnya batu, bukanlah hal baru yang aneh. Di manca negara misalnya ada wisata Ayer Rock atau Urulu di Australia, Stonehenge Inggris, Taman Nasional Bryce Canyon di Amerika, dan Puncak Karst Zhangjiajie di Cina.Â
Di Indonesia juga tak kurang destinasi wisata batu. Ada misalnya batu Malin Kundang di Padang, Karang Kursi di Pelabuhan Ratu Sukabumi, Watu Dodol di Banyuwangi, menhir Bori Kalimbuang di Toraja, dan Batu Layar di Ambon Maluku. Setiap batu itu punya kisahnya sendiri, lazimnya berupa legenda.
Begitu pun di lingkar Kaldera Toba. Dari sebegitu banyak yang tersingkap ke permukaan, ada tujuh batu yang ternama di sana. Dalam arti terkenal dan menjadi obyek wisata menarik dikunjungi banyak pelancong. Batu-batu mana sajakah itu?
Batu Gantung Sibaganding
Tergantung pada puncak sebuah tebing batu di dinding timur kaldera, Batu Gantung adalah batu paling terkenal di Kaldera Toba Bentuknya seperti tubuh seorang perempuan yang tersangkut pada rambutnya, dengan seekor anjing dalam pelukannya.
Menurut legenda, Batu Gantung itu tadinya adalah gadis cantik, kembang desa Sibaganding. Karena tak sudi dipaksa kawin dengan paribannya, gadis itu memutuskan bunuh diri. Dia terjun ke danau dari atas sebuah tebing. Tapi takdir berkata lain. Rambutnya tersangkut pada rekahan batu. Lalu dia tergantung di situ sampai membatu.
Seingatku legenda itu sudah populer dan menjadi lakon standar opera Batak tahun 1960-an. Moral legenda itu adalah gugatan pada sistem perkawinan saudara semenda antara namarpariban, antara putri dari seorang saudari dan putra dari seorang saudara kandungnya. Sampai tahun 1970-an sistem perkawinan seperti itu, jika diminta oleh pihak anak laki (boru) atau pihak anak perempuan (hula-hula), secara adat mesti dipenuhi.
Sejatinya, sosok Batu Gantung itu adalah lava dasitan beku, hasil semburan Gunung Toba saat letusan super dahsyat 74,000 tahun lalu. Lelehan lava berupa stalagtit sepanjang 2 meter itu menempel pada dinding gamping dari era Mesozoikum (250 - 65 juta tahun lalu) yang tersingkap saat letusan Kaldera Porsea 840,000 tahun lalu. Dia membeku di situ sebelum sempat jatuh ke permukaan kaldera.
Batu Gantung dapat dikunjungi dengan cara naik kapal danau atau speed boat dari pelabuhan wisata Parapat. Hanya perlu waktu 10-15 menit untuk berlayar ke utara, sebelum kemudian tiba di kaki tebing tempat batu sepanjang dua meter tergantung.Â
Bagaimanapun, diperlukan niat tulus dan imajinasi untuk bisa melihat stalagtit lava dasitan itu sebagai sosok seorang gadis yang tergantung di atas tebing sambil memeluk seekor anjing.
Batu Basiha Balige
Di perbukitan Sibodiala, tepatnya di Desa Aekbolon Julu, Balige Toba, terdapat kekayaan geologis berupa batu Basiha. Nama Basiha itu pemberian warga setempat, kependekan dari "BAtu SIan HAu" -- batu dari kayu. Batu itu memang tampak seperti tumpukan balok kayu.
Menurut legenda, dahulu kala Ompu Manggak Napitupulu -- salah seorang leluhur marga Napitupulu Salimbabiat -- berniat mendirikan ruma bolon, rumah adat Batak di bukit Sibodiala. Dia mengambil balok-balok kayu yang dari berbagai penjuru hutan lalu menumpuknya di tempat itu.Â
Suatu ketika seekor harimau muncul dan melarang Ompu Manggak mendirikan rumah di situ. Ompu Manggak disuruh pulang ke Sangkarnihuta, kampung asalnya yang telah diduduki orang lain.Â
Saat Ompu Manggak pulang ke kampungnya, tiba-tiba petir menyambar tumpukan balok kayu itu sehingga berubah menjadi batu. Melihat kenyataan itu beberapa hari kemudian, Ompu Manggak membatalkan niatnya membangun ruma bolon di situ. Situs "tumpukan kayu membatu" itu kemudian dikeramatkan.
Aslinya Batu Basiha itu adalah batuan lava basalt-andesit beku. Diperkirakan lava itu hasil erupsi Kaldera Porsea Gunung Toba pada 830,000 tahun lalu -- letusan kedua. Penurunan suhu drastis, pembekuan, membuat aliran lava mengerut lalu pecah menjadi kolom-kolom heksagonal serupa tumpukan balok ukuran 30 cm.
Mekipun sudah ada penjelasan ilmiah, warga setempat tetap meyakini Batu Basiha sebagai tumpukan balok kayu yang membatu akibat sambaran petir. Tempat itu tetap diaggap sakral.
Sakralisasi Batu Basiha itu adalah bentuk kearifan lokal untuk melestarikan perbukitan Sibodiala sebagai areal pertanian sekaligus daerah aliran sungai. Terletak 5 km di timur Balige, Sibodiala adalah hulu salah satu sungai yang bermuara di Danau Kaldera Toba. Menebangi pepohonan di situ berisiko merusak tata air.Batu Maranak Tipang
Batu Maranak, batu beranak, adalah sesuatu yang muskil. Nama itu diberikan pada tebaran bebatuan lava andesit di puncak bukit Tipang, sisi barat kaldera. Berada di sebelah utara lembah Tipang, Baktiraja Humbang Hasundutan, bukit Batu Maranak dapat dicapai lewat sebuah jalur pendakian.
Menurut legenda lokal, Batu Maranak itu kutukan untuk dua orang remaja kakak-beradik beda jenis kelamin yang terlibat inses. Dikisahkan saat menggembalakan kerbau, kakak laki berhubungan badan dengan adik perempuannya. Hubungan terlarang itu baru ketahuan saat si adik hamil.
Raja-raja adat marah dan mengusir kedua kakak-beradik itu ke luar kampung. Konon mereka pergi ke bukit Batu Maranak sekarang. Beberapa waktu kemudian, warga kampung mencoba menyelidiki keberadaan mereka. Tapi tak ada jejaknya di bukit itu. Warga justru menemukan di situ hamparan bebatuan yang tadinya belum ada.Â
Berdasar temuan itu, warga menyimpulkan kedua kakak-beradik dan anak-anaknya tekah dikutuk Mulajadi Nabolon menjadi batu. Konon jumlah batu di bukit itu bertambah tiap tahun. Walau tak ada yang pernah menghitung berapa persis jumlahnya.
Bebatuan itu menjadi tudosan, pengibaratan bagi orang melakukan inses. Nanti pasangan inses akan dikutuk menjadi batu yang beranakkkan batu seperti Batu Maranak itu.
Sejatinya Batu Maranak itu adalah bekuan lava andesit yang pecah-pecah akibat pengerutan saat pendinginan. Bebatuan itu untuk waktu yang lama tertutup oleh debu vulkanik. Karena vegetasinya rerumputan, lapisan debu itu kemudian terkikis oleh air hujan dan angin. Sehingga hamparan batuan itu tersingkap ke permukaan tanah.
Karena erosi berlangsung terus-menerus, jumlah batu yang menyembul juga semakin banyak. Walau tak ada seorangpun yang pernah menghitung jumlahnya. Orang setempat lantas menafsirnya sebagai komplek batuan yang beranak-pinak.Â
Batu Marompa Tambadolok
Kira-kira 30 km ke arah barat laut Batu Maranak, tepatnya di Desa Tambadolok, Sitio-tio Kabupaten Samosir terdapat Batu Marompa. Batu itu nangkring di bibir tebing sebelah barat Desa Tambadolok.
Tampilannya berupa dua bongkah raksasa batu bertindihan. Warga setempat menyebutnya marompa, (yang satu) menggendong (yang lainnya).Â
Menurut legenda, asal-usul batu bertindihan itu adalah seorang kakak laki dan adik perempuannya yang terlibat inses. Dikisahkan pada suatu hari sejumlah warga desa bersama kakak-adik itu marsoban, mencari kayu bakar ke hutan. Tapi kakak beradik itu memisahkan diri dari rombongan untukcberhubungan badan di hutan.
Saat semua parsoban, pencari kayu bakar sudah pulang, diketahui kakak-beradik itu tidak ada. Warga kampung mencari kakak-beradik itu ke hutan. Tapi mereka tidak menemukan apapun kecuali dua bongkah batu besar bertindihan yang sebelumnya tak ada. Lalu disimpulkan batu bertindih itu adalah kakak-beradik yang telah dikutuk Mulajadi Nabolon akibat perbuatan insesnya.
Sama seperti Batu Maranak, Batu Marompa dalam khasanah kearifan lokal digunakan sebagai tudosan, pengibaratan nasib pelaku inses. Dikutuk Mulajadi Nabolon menjadi batu.
Batu Marompa itu adalah bekuan lava andesit, muntahan letusan Gunung Toba pada Kaldera Sibandang 74,000 tahun lalu. Batu itu tersingkap ke permukaan karena debu vulkanik yang menutupinya terkikis oleh air hujan dan angin.Â
Batu Hobon Pusukbuhit
Berada di lereng Gunung Pusukbuhit, Desa Limbong-Sagala, Sianjurmula-mula Samosir, Batu Hobon diyakini warga setempat sebagai tinggalan Sariburaja. Sariburaja, anak kedua Guru Tateabulan atau cucu langsung Siraja Batak adalah leluhur kelompok marga turunan Siraja Lontung (Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar).
Menurut legenda, Sariburaja menyimpan harta pusaka keluarganya di dalam batu hobon, peti batu dengan tujuh lapis tutup di lereng Pusukbuhit. Konon batu hobon itu dibikin oleh Raja Uti, kakaknya, anak pertama Guru Tateabulan. Menurut cerita, Raja Uti itu lahir tanpa tangan dan kaki tapi sangat sakti.
Walau tak ada buktinya, warga setempat meyakini peti batu itu berisi harta karun. Konon di dalamnya terdapat ogung saparangguan (seperangkat alat musik gondang Batak), hujur somba baho (tombak sakti), piso solam debata (pedang sakti), pagar pompang bala saribu (ramuan anti-sakit), tintin sipajadi-jadi (cincin pemuas lapar dan dahaga), pungga haomasan (batu gosok emas), tawar sipagabang-gabang (ramuan pembangkit orang mati), dan lak-lak (pustaka dari kulit kayu).
Cerita tentang isi Batu Hobon itu mengundang aksi para pemburu harta karun. Konon seotang pejabat Hindia Belanda, lalu seorang tentara PRRI, dan terakhir seorang dukun sakti pernah mencoba membuka tutup peti batu itu. Ketiganya gagal dan, tragisnya, menjadi gila lalu mati.
Batu Hobon itu sebenarnya adalah singkapan batuan lava dasitan beku, bagian dari kubah lava Pusukbuhit. Kubah lava ini terbentuk pasca letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu. Rekahan-rekahan yang terlihat sebagai lapisan-lapisan tutup peti itu terjadi akibat proses pendinginan lava secara drastis.Â
Sejatinya Batu Hobon itu adalah tonjolan pada kubah batuan lava dasit. Di bawah tanah dia menyatu dengan kubah lava beku yang menjadi struktur internal gunung. Karena itu mustahil membuka Batu Hobon seperti membuka peti. Batu itu masif, tak berongga layaknya sebuah peti.
Di masa lalu Batu Hobon digunakan warga penganut agama asli Batak sebagai altar persembahan. Warga meletakkan sajen di situ, lalu berdoa mengucap syukur, mengadukan nasib, atau mohon karunia kepada Mulajadi Nabolon. Sampai hari ini, kendati sudah menganut agama Kristiani, masih ada saja orang Batak yang melakukan ritual di situ.
Pesan moral legenda Batu Hobon itu menekankan pusaka leluhur sebagai ikatan pemersatu. Bukan nilai ekonomi pusaka itu yang penting, andaipun benar ada, melainkan nilai sosialnya. Batu Hobon kini menjadi kiblat pemersatu bagi marga-marga turunan Sariburaja khususnya dan turunan Tateabulan umumnya.
Batu Guru Pangaloan
Di lepas pantai Desa Pangaloan, Nainggolan, ujung selatan Pulau Samosir, terdapat sebongkah batu raksasa. Tampakannya seperti kura-kura raksasa yang mumbul ke permukaan danau. Tingginya sekitar 5 m di atas permukaan air dengan diameter sekitar 50 meter.Â
Batu itu dinamai Batu Guru, lengkapnya Batu Guru Parulas Parultop Lumbanraja. Menurut legenda, dahulu kala ada dua orang Datu Bolon, Dukun Sakti yang membuat dua bongkah batu raksasa berkelahi di Nainggolan. Kata kedua dukun itu, barang siapa yang mampu melerai perkelahian dua batu itu, maka dia akan diakui sebagai Guru.
Setelah berminggu-minggu siang-malam kedua batu itu berkelahi, merusak sawah ladang, tanpa ada yang bisa melerai, akhirnya Datu Parulas Parultop tampil dan menghentikannya. Atas kesaktiannya itu, Datu Parulas digelari Guru.
Datu Parulas meletakkan dua batu itu di tempat terpisah. Satu ditempatkan di darat, tepatnya di Lumbanbatu Nainggolan. Satu lagi di dalam air danau di lepas pantai Pangaloan.
Batu yang berada di danau dinamai Batu Guru. Konon Datu Parulas dahulu menggunakannya sebagai tempat ritual keagamaan. Juga menjadikannya menara pengintaian gerakan musuh dari seberang Samosir. Bahkan, menurut cerita, ada kalanya Guru Parultop mengendarainya di danau saat berkunjung ke kampung tetangga.Â
Seperti umumnya batuan tersingkap di Kaldera Toba, Batu Guru adalah batuan lava dasit hasil letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu. Dia bukan satu-satunya batu di situ. Ada batu-batu lain di sekitarnya, sebagian menyebar ke tepi pantai. Logis untuk menduganya sebagai batuan lava yang terpecah-pecah waktu pendinginan.
Menurut cerita warga setempat, Batu Guru itu bertumpu pada tiga batu lain di dasarnya. Di bawahnya ada kolong air yang bisa ditembus dari satu sisi ke sisi seberangnya.Â
Tiga batu penopang itu dipersepsikan warga sebagai simbol Dalihan Natolu. Batu Guru sendiri melambangkan masyarakat Batak yang bertumpu pada tiga pilar Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah patrilineal), dan boru (penerima istri).
Relasi harmonis antara tiga pilar itu menjamin tegaknya masyarakat Batak. Norma penuntunnya adalah "somba marhula-hula, manat mardongan-tubu, elek marboru." Artinya "hormat pada hula-hula, telaten pada dongan tubu, sayang pada boru."
Batu Hoda Simanindo
Berada di ujung utara Pulau Samosir, di sebuah pantai eksotis di Desa Sintadame, Simanindo, Batu Hoda adalah lambang cinta sejati hingga akhir hayat. Pantai itu sendiri kemudian dinamai Pantai Batu Hoda, sebagai kenangan akan seekor kuda betina yang setia menanti kekasihnya hingga mati membatu.
Dikisahkan oleh legenda, dahulu kala seekor kuda betina warna hitam berenang menyeberangi Tao Silalahi dari arah utara. Dia mendarat di pantai utara Pulau Samosir, tepatnya di Kampung Malau, bagian dari Desa Sintadame sekarang.Â
Kuda betina itu setiap hari berdiri saja di tepi pantai, memandang ke arah danau, seakan menunggu sesuatu. Ketika warga menanyainya, dia bilang sedang menunggu kedatangan kekasihnya, seekor kuda jantan merah, dari seberang danau. Mereka, katanya, sudah berjanji untuk bertemu di pantai itu.Â
Setelah bertahun-tahun menunggu tapi si kuda jantan tak kunjung datang, warga yang iba membujuk kuda betina itu agar kembali ke seberang. Sebab mungkin saja kuda jantan kekasihnya itu telah mati atau, lebih buruk lagi, kawin dengan betina lain.
Tapi kuda betina itu bergeming. "Aku akan tetap menanti di sini walau sampai mati membatu," katanya. Dan jadilah seperti itu. Kuda betina itu akhirnya mati membatu karena jantan kekasihnya tak kunjung datang.
Legenda itu kemudian dikisahkan berulang-ulang sebagai tudosan, pengibaratan kesejatian dan kesetiaan cinta seorang perempuan kepada lelaki kekasihnya. Faktanya perempuan Batak di masa lalu memang terkenal setia menunggu pulang suami atau kekasihnya yang pergi merantau tanpa kabar. Dahulu, ya, entah kalau sekarang.
Hasahatan
Tujuh batu yang dibeber di sini hanya sebagian kecil dari banyak batu yang punya legenda asal-usul sendiri di Kaldera Toba. Tapi apapun kata legenda, satu hal yang jelas, batu-batu itu adalah produk erupsi Gunung Toba puluhan atau ratusan ribu tahun lalu. Entah itu batuan dasar yang tersingkap atau, terutama, batuan lava dasit dan andesit yang mengalami pembekuan dan peretakan.
Legenda disematkan pada batu-batu itu sebagai wahana ajaran moral dalam masyarakat Batak. Semisal kebebasan memilih pasangan hidup (batu gantung), pelestarian lingkungan (batu basiha), larangan inses (batu maranak dan batu marompa), persatuan kerabat (batu hobon), kerukunan (batu guru), dan kesetiaan cinta (batu hoda).
Legenda dengan aroma mistis, atau sakralisasi, juga disematkan pada batu-batu itu untuk menjaga kelestariannya. Sakralisasi mencegah orang merusak batu-batu itu dan lingkungan sekitarnya.
Legenda dan sains sama-sama menyumbang nilai untuk eksistensi batu-batu itu. Legenda menyumbangkan nilai-nilai moral, sedangkan sains menyumbangkan pengetahuan ilmiah tentang asal-usul batu-batu itu.
Suatu saat bila mengunjungi batu-batu itu, maka tahulah kamu bahwa mereka lahir dari rahim Gunung Toba, padanya warga setempat menyematkan legenda sebagai ajaran nilai moral. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H