Batu Guru Pangaloan
Di lepas pantai Desa Pangaloan, Nainggolan, ujung selatan Pulau Samosir, terdapat sebongkah batu raksasa. Tampakannya seperti kura-kura raksasa yang mumbul ke permukaan danau. Tingginya sekitar 5 m di atas permukaan air dengan diameter sekitar 50 meter.Â
Batu itu dinamai Batu Guru, lengkapnya Batu Guru Parulas Parultop Lumbanraja. Menurut legenda, dahulu kala ada dua orang Datu Bolon, Dukun Sakti yang membuat dua bongkah batu raksasa berkelahi di Nainggolan. Kata kedua dukun itu, barang siapa yang mampu melerai perkelahian dua batu itu, maka dia akan diakui sebagai Guru.
Setelah berminggu-minggu siang-malam kedua batu itu berkelahi, merusak sawah ladang, tanpa ada yang bisa melerai, akhirnya Datu Parulas Parultop tampil dan menghentikannya. Atas kesaktiannya itu, Datu Parulas digelari Guru.
Datu Parulas meletakkan dua batu itu di tempat terpisah. Satu ditempatkan di darat, tepatnya di Lumbanbatu Nainggolan. Satu lagi di dalam air danau di lepas pantai Pangaloan.
Batu yang berada di danau dinamai Batu Guru. Konon Datu Parulas dahulu menggunakannya sebagai tempat ritual keagamaan. Juga menjadikannya menara pengintaian gerakan musuh dari seberang Samosir. Bahkan, menurut cerita, ada kalanya Guru Parultop mengendarainya di danau saat berkunjung ke kampung tetangga.Â
Seperti umumnya batuan tersingkap di Kaldera Toba, Batu Guru adalah batuan lava dasit hasil letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu. Dia bukan satu-satunya batu di situ. Ada batu-batu lain di sekitarnya, sebagian menyebar ke tepi pantai. Logis untuk menduganya sebagai batuan lava yang terpecah-pecah waktu pendinginan.
Menurut cerita warga setempat, Batu Guru itu bertumpu pada tiga batu lain di dasarnya. Di bawahnya ada kolong air yang bisa ditembus dari satu sisi ke sisi seberangnya.Â
Tiga batu penopang itu dipersepsikan warga sebagai simbol Dalihan Natolu. Batu Guru sendiri melambangkan masyarakat Batak yang bertumpu pada tiga pilar Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (kerabat segaris darah patrilineal), dan boru (penerima istri).
Relasi harmonis antara tiga pilar itu menjamin tegaknya masyarakat Batak. Norma penuntunnya adalah "somba marhula-hula, manat mardongan-tubu, elek marboru." Artinya "hormat pada hula-hula, telaten pada dongan tubu, sayang pada boru."