Sebaliknya bila air danau surut atau mengering, berarti air tanah di area sekeliling danau defisit. Akibatnya tanaman kekurangan air, sehingga pertumbuhan dan hasilnya jelek.Â
Bagi masyarakat Ronggurnihuta dahulu kala, Tao Sidihoni itu adalah homban, sumber air bersama untuk mendukung kehidupan bersama. Terutama untuk keperluan minum, mandi, dan cuci. Karena itu kelestarian danau itu harus dipelihara dengan cara merawat vegetasi area sekitarnya.
Sebegitu sentralnya arti Tao Sidihoni sebagai sumber hidup, Â sehingga masyarakat Ronggurnihuta menganggapnya sebagai lokus sakral. Generasi-generasi era religi asli Batak, kepercayaan kepada Mulajadi Nabolon (Pencipta Agung), di masa lalu rutin menjalankan ritual lepas panen di tepi danau itu.Â
Ritual itu, lazimnya berupa gondang, dimaksudkan untuk menyampaikan persembahan dan syukur kepada Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur, atas keberhasilan panen. Atau sebaliknya, saat gagal panen, masyarakat memohon karunia air dan kesuburan tanah pada musim berikutnya.
Artefak ritual itu masih dapat disaksikan di sisi timur danau berupa altar pamelean, mesbah persembahan berbentuk segitiga. Tampak di atas mesbah diletakkan pitu sawan, tujuh cawan media penyampaian doa-doa kepada Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur kampung. Aslinya tujuh cawan itu diisi air dari tujuh sumber.
Tapi seiring masuknya agama Kristen ke Sidihoni tahun 1930-an, ritual-ritual agama asli perlahan-lahan memudar. Ritual semacam itu dicap sebagai hasipele-beguon, penyembahan berhala atau animisme/dinamisme. Â Hal semacam itu menduakan Tuhan Yang Esa, dosa menurut ajaran Kristiani.
Hanya saja, bagi orang Batak ritual agama asli, semisal gondang, sudah menjadi adat. Mengharap orang Batak akan membuang adatnya demi agama baru adalah muskil. Bagi orang Batak mustahil beragama tanpa beradat. Seperti juga mustahil  beradat tanpa beragama.
Masyarakat Sidihoni bukan perkecualian. Secara insidental warga di sana masih mengadakan ritual gondang untuk memohon sesuatu atau mengucap syukur kepada Mulajadi Nabolon. Terakhir sebuah gondang besar diselenggarakan di sama tahun 2006. Intensinya mohon hujan kepada Mulajadi Nabolon untuk menggenangi kembali Tao Sidihoni yang surut drastis pasca-tsunami Aceh 2004.
Hasilnya, boleh percaya atau tidak, hujan turun dan Tao Sidihoni selamat dari kekeringan. Apapun kata orang luar, bagi warga setempat fakta itu adalah penegasan sakralitas Tao Sidihoni.