Lalu tahun 1997 aku mengunjungi terusan itu untuk studi pencemaran air danau di kawasan Pangururan. Tampak terusan itu sudah mengalami pendangkalan dan penyempitan.Â
Di kedua ujung terusan tampak tutupan eceng gondok melebar. Tapi terusan masih dapat dilalui kapal, dengan kecepatan ekstra rendah. Kadang harus dibantu dengan dorongan galah bambu.
Memasuki tahun 2010-an kondisi terusan Tano Ponggol semakin mengenaskan. Kemarau panjang pada pertengan tahun 2016 benar-benar mengeringkan terusan. Hanya tersisa bagian mediannya yang tampak serupa selokan. Kapal danau ukuran sedang sekalipun harus susah payah melewatinya.Â
Sisi kiri dan kanan terusan mengering sehingga, kalau mau, bisa ditanami bawang atau kacang tanah (hariansib.co, 29/07/2016; gosumut.com, 25/07/2016 & 24/09/2016).
Sebenarnya upaya pengerukan pernah dilakukan. Konon sampai menghabiskan dana sekitar Rp 12 miliar. Tapi hasilnya, ya seperti itulah, macam tak pernah dikeruk.
Pemerintah setempat kemudian cenderung menyalahkan penurunan permukaan danau sebagai biang keladi pendangkalan terusan. Tahun 2010-an memang diwarnai isu pendangkalan danau Kaldera Toba.Â
Permukaan air danau dilaporkan turun sampai 2 meter, sehingga di beberapa tempat garis pantai bergeser sampai 40 meter ke arah danau.
Ada dua faktor yang dituding sebagai penyebab utama. Pertama, pengerukan hulu sungai Asahan di Porsea untuk menaikkan debit air ke bendungan PLTA Sigura-gura, Toba.Â
Lalu, kedua, penggundulan hutan di lingkar wilayah Kaldera Toba yang menyebabkan kerusakan daerah tangkapan air. Sejumlah sungai pemasok air danau mengalami penurunan debit yang ekstrim bahkan sampai mengering.