Aku membayangkan sebuah ruma opera di suatu teluk atau semenanjung eksotis danau Kaldera Toba. Sebuah ruma pertunjukan yang mengawinkan tanah, air, kayu, batu, dan udara.
Sydney Opera House, sebuah tetenger kota, sesuatu yang paling diingat oleh siapa pun yang mampir ke Sydney, Australia. Menjorok ke laut, gedung pertunjukan yang berdiri di Sydney Harbour itu telah menjadi ikon Australia.
Aku membayangkan sebuah ruma opera semacam itu di Kaldera Toba. Sebuah bangunan besar yang mengawinkan unsur-unsur tanah, air, kayu, batu, dan udara, tempat aneka pertunjukan kelas dunia dipentaskan. Tetenger bagi kaldera itu.
Ruma Opera Kaldera Toba itu akan menjadi sebuah tetenger. Ikon Kaldera Toba yang diingat para pengunjung dari desa naualu, delapan penjuru mata angin.
Apakah imajinasiku tentang Ruma Opera itu berlebihan? Kupikir tidaklah. Sebab bukankah pemerintah menarget Kaldera Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia? Maka sepantasnyalah bila di sana ada sebuah ruang pertunjukan kelas dunia.Â
Kenangan Opera Batak
Dambaanku atas Ruma Opera Kaldera Toba itu dibangkitkan oleh percakapan kecil dengan Jay Wijayanto pada suatu sore yang hujan di Kuningan, Jakarta.
Lae Jay, begitu aku menyapanya, adalah sosok di balik sukses helatan Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba (KKPDT) 2016. Dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana, karnaval itu sukses menjadikan seluruh kota Balige sebagai panggung adat dan seni-budaya Batak Toba, Pakpak, Karo. Simalungun, dan Mandailing.
Selepas helatan karnaval itu, Lae Jay berangan-angan membangun sebuah rumah opera Batak di tepi danau Kaldera Toba. Tapi dia sadar itu tak mudah diwujudkan, mengingat kebutuhan dana yang pasti sangat besar. Dia ingin rumah opera itu berstandar internasional.
Sebagai "hiburan" Lae Jay, aktor, konduktor, penyanyi, petani, dan organisator itu akhirnya merancang sebuah ampiteater kecil di komplek Toba Caldera Resort, Ajibata. Itu sebuah panggung di alam terbuka, mungkin semacam prototipe rumah opera Batak.