Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pulau Simamora, Jejak Eksotis Super Volcano Gunung Toba

4 Januari 2024   12:06 Diperbarui: 4 Januari 2024   15:21 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Simamora di Teluk Baktiraja tampak dari Bukit Batu Maranak di atas Lembah Tipang Humbang Hasundutan (Foto: . instagram.com/wonderful_laketoba)

Ada sosok kura-kura hijau raksasa mengambang diam di Teluk Baktiraja, sisi selatan danau Kaldera Toba. Dia seakan menyapa siapa saja yang datang lewat mulut teluk itu menuju lembah Tipang ataupun Bakkara.

"Kura-kura" itu adalah Pulau Simamora. Salah satu dari lima pulau mini tak berpenghuni di Danau Kaldera Toba. Empat lainnya adalah Sitakke-takke (sebelah timur Simamora, Teluk Baktiraja), Tulas Siboro, Tolping, dan Tao.

Secara khusus Pulau Tulas Siboro di utara Pangururan kerap disebut kembaran Pulau Simamora. Mungkin karena bentuknya serupa, seperti kura-kura. Tapi kalau dipertelakan dengan genealogi, Siboro itu generasi ke-8 (terhitung) dari Simamora, dalam garis darah Raja Isumbaon (Sumba). Jadi Pulau Tulas Siboro itu adalah "keturunan" Pulau Simamora.

Tapi, soal genealogi pulau itu, anggap saja intermeso. Saya hanya ingin mengatakan semua pulau di Danau Kaldera Toba lahir dari rahim yang sama yaitu Kaldera Gunung Toba. 

Gunung Toba meletus empat kali. Pertama, 1.3 juta tahun lalu di Kaldera Haranggaol; kedua, 840,000 tahun lalu di Kaldera Porsea; ketiga, 501,000 tahun di Kaldera Haranggaol; keempat, 74,000 tahun lalu di Kaldera Sibandang.

Pulau Simamora terbentuk pasca letusan keempat, suatu super volcano atau erupsi terdahsyat sepanjang sejarah bumi, nyaris memusnahkan umat manusia. Tujuh puluh empat ribu tahun lalu Kaldera Toba itu adalah wilayah kematian. Tak ada kehidupan di sana. 

Nelayan Danau Kaldera Toba dengan latarbelakang Pulau Simamora tampak dari pantai Desa Tipang, Baktiraja, Humbang Hasundutan (Foto: riyanthi sianturi/desawisatatipang.com)
Nelayan Danau Kaldera Toba dengan latarbelakang Pulau Simamora tampak dari pantai Desa Tipang, Baktiraja, Humbang Hasundutan (Foto: riyanthi sianturi/desawisatatipang.com)

Hanya setelah melalui proses evolusi selama puluhan ribu tahun pasca-letusan, pulau-pulau dan tetumbuhan di atasnya muncul di sana. Wajah Kaldera Toba secara perlahan tapi pasti berubah dari "neraka" menjadi "surga", dari pemandangan horor menjadi jejak eksotis. 

Pulau Simamora adalah salah satu ikon eksotisme bentang alam Kaldera Toba. Dia adalah salah satu harta geologis penting, suatu kubah lava dasit dan debu vulkanik yang terbentuk pasca erupsi Gunung Toba 74,000 tahun lalu. Keberadaannya pantas disingkap dan diberitakan kepada khalayak.

Pulau Milik Marga Raja Simamora 

Sebelum Raja Simamora hadir di lembah Tipang ratusan tahun lalu, Pulau Simamora sudah ada di sana, tanpa nama. Hanya setelah Simamora hadir, maka pulau kecil di teluk itu kemudian dinamai Pulau Simamora.

Tapi mengapa Simamora? Itu ada ceritanya.

Begini. Pemukim pertama di lembah Tipang -- sekarang Desa Tipang -- diyakini adalah Raja Sumba. Dia terbilang generasi kelima orang Batak pada garis turunan belahan Isumbaon. Ayahnya adalah Tuan Sorbadibanua dan kakeknya adalah Tuan Sorimangaraja, Pendeta Raja Bius Baligeraja.

Menurut hikayat, Raja Sumba bermigrasi dari Meat-Baligeraja ke Tipang. Kira-kira bersamaan dengan saudaranya Siraja Oloan, leluhur Sisingamangaraja, yang bermigrasi ke lembah Bakkara. 

Raja Sumba dan istrinya Siboru Pandan Nauli dikisahkan berputra dua orang, Simamora dan Sihombing. Kedua putranya ini kemudian menikah dengan dua anak perempuan Siraja Lontung. Simamora menikahi Siboru Panggabean dan Sihombing menikahi Siboru Amakpandan. [1]

Simamora dan Sihombing dan keturunannya kemudian menjadi marga-marga raja di Tipang. Simamora menurunkan marga-marga Purba, Manalu dan Debataraja. Sihombing menurunkan marga-marga Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit. [2]

Ketujuh marga itu disebut Marga Napitu atau Raja Napitu. Marga-marga itulah yang berdiam dan meraja di lembah Tipang sejak ratusan tahun lalu.

Dalam pembagian warisan tanah Tipang, dikisahkan bahwa Simamora mendapat bagian tano birong, tanah hitam, dan itu berarti tanah pantai atau hilir lembah. Sedangkan Sihombing mendapat bagian tano liat, tanah merah, atau hulu lembah. 

Karena Pulau Simamora berada di perairan pantai, maka dengan sendirinya pulau itu menjadi hak milik Simamora. Demikianlah pulau itu kemudian dinamai Pulau Simamora.

Pulau Simamora dengan latar-belakang Lembah Bakkara (Foto: switour.com)
Pulau Simamora dengan latar-belakang Lembah Bakkara (Foto: switour.com)

Pulau Tanpa Penghuni

Tak ada cerita dan berita yang menyebut Pulau Simamora dihuni manusia. Bisa dipahami jika melihat ukuran dan topografi pulau ini. Dia serupa cangkang kura-kura, atau tempurung, yang tak memberi ruang layak untuk pertapakan rumah. Apalagi rumah adat Batak.

Tinggal di situ juga mungkin tak terlalu sehat. Siang hari kena terpaan angin danau. Malam hari kena deraan angin malam dari lembah Bakkara dan atau lembah Tipang. Tanpa tameng alami berupa pepohonan.

Pulau ini, karena topografinya berupa kubah lava, tergolong lahan kritis yang rentan terkikis erosi. Lapisan atas tanah (top soil) sangat tipis, sehingga tak cukup ideal untuk menjadi lahan pertanian. 

Dulu pulau ini pernah digarap beberapa petani Tipang untuk lahan usaha tani hortikultura. Semisal tanam bawang dan jagung. Tapi kemudian ditinggalkan karena tidak produktif.

Kini kubah pulau itu hanya ditumbuhi rerumputan, antara lain ilalang. Di sekeliling bibir pantainya yang terjal tumbuh pohon-pohon mangga Toba. Bila musim mangga tiba, warga Tipang atau siapa saja yang lewat bebas memetiknya untuk dimakan sendiri.

Pada suatu masa dahulu, pulau ini digunakan warga Tipang sebagai kandang kerbau (Bubalus bubalis). Sore hari, dengan naik perahu, gembala menggiring kerbau berenang ke sana untuk bermalam. Esok paginya dijemput untuk kerja membajak sawah atau merumput di lembah Tipang. Atau untuk dijual ke Bakkara.

Kini Pulau Simamora lebih kerap menjadi lokasi mardoton, menangkap ikan dengan jaring atau pukat. Ini cara tradisional nelayan Kaldera Toba menangkap ikan di danau. Semakin kecil mata jaring, semakin kecil ukuran ikan yang tertangkap. Semakin besar matanya, semakin besar pula ukuran ikan yang tertangkap.

Menurut tradisi, kegiatan mardoton diawali dengan berdoa kepada Mulajadi Nabolon, lewat perantaraan Boru Saniangnaga, dewi danau, agar diberi tangkapan ikan yang banyak. Doa dilengkapi dengan pemberian itak gurgur, tepung beras yang dicetak dalam genggaman, kepada Boru Saniangnaga. Itak gurgur itu diletakkan di atas kepala (haluan) sampan. 

Terkadang ada juga warga yang datang ke Pulau Simamora untuk mengadakan ritual doa kepada Mulajadi Nabolon. Entah itu untuk mohon berkah agar sinur pinahan gabe naniula -- ternak beranak-pinak tanaman memberi hasil melimpah. Atau untuk memohon kesembuhan penyakit-penyakit fisik dan sosial. 

Kegiatan ritual semacam itu memberi kesan magis pada Pulau Simamora. Sehingga dia menjadi sebuah pulau yang eksotis sekaligus magis. 

Pulau Simamora di Teluk Baktiraja tampak dari Bukit Batu Maranak di atas Lembah Tipang Humbang Hasundutan (Foto: . instagram.com/wonderful_laketoba)
Pulau Simamora di Teluk Baktiraja tampak dari Bukit Batu Maranak di atas Lembah Tipang Humbang Hasundutan (Foto: . instagram.com/wonderful_laketoba)

Prospek Wisata Geokultural

Pulau Simamora kini masuk dalam agenda pengembangan Tipang sebagai desa wisata. Ada rencana untuk membuka bumi perkemahan (camping ground) mini di sana. Sekaluan menjadikannya spot wisata alam.

Sebagai spot wisata alam, Pulau Simamora memang sangat eksotis. Berdiri di puncak kubah pulau itu menjadikan diri sungguh kecil di tengah keagungan alam. Sekeliling pulau itu, berselang perairan jernih, adalah lembah kembar Tipang dan Bakkara yang permai. 

Lalu perbukitan tinggi dengan dinding curam, khas dinding Kaldera Toba. Memandang ke timur, melalui mulut teluk berbentuk lagoon itu, tampaklah siluet Pulau Sibandang yang indah.

Tapi menurut hematku, menjadikan Pulau Simamora sebagai destinasi wisata alam semata, plus bumi perkemahan, bukanlah pilihan yang cukup bijak. Kegiatan wisata semacam itu dengan cepat akan merusak vegetasi rendah (rerumputan) di pulau, sehingga dengan cepat akan berubah menjadi kubah gundul. Semacam gurun di tengah danau.

Selain itu kegiatan mardoton oleh nelayan setempat juga akan terganggu oleh hilir-mudik perahu wisatawan. Itu bisa merusak ekosistem perairan, sehingga populasi ikan di situ lari ke tempat lain.

Saya cenderung mengusulkan wisata geokultural di Pulau Simamora itu. Pulau itu adalah eksemplar ideal untuk menjelaskan interaksi manusia Batak dengan alam kaldera. Tambahan lagi, Pulau Simamora itu situs geologis asli produk letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu.

Untuk mewujudkan wisata geokuktural itu, beberapa hal berikut perlu dipersiapkan.

Pertama, membangun narasi (story telling) holistik (sejarah geologi, hayati, budaya, ekonomi) Pulau Sinamora.

Kedua, menyiapkan singkapan batuan hasil formasi geologis di Pulau Simamora, untuk menjelaskan proses terbentuknya pulau itu.

Ketiga, mengintegrasikan dan merevitalisasi tradisi mardoton dan pengandangan kerbau secara berenang sebagai aktivitas wisata budaya di Pulau Simamora. 

Keempat, konservasi pohon-pohon mangga Toba du Pulau Simamora sebagai potensi agrowisata khas Kaldera Toba. 

Kelima, menyiapkan dan membekali warga muda Tipang sebagai pemandu wisata geokultural Pulau Simamora.

Pengusulan wisata geokultural itu bukan tanpa dasar. Pulau Simamora itu tercakup dalam Geosite Bakkara-Tipang-Baktiraja Geopark Kaldera Toba (GKT). Pulau itu juga sudah tercakup dalam program pengembangan Desa Wisata Tipang.

Tinggal bagaimana Badan Pengelola GKT, Masyarakat Desa Tipang, dan Pemda Humbang Hasundutan bersedia duduk bersama. Lalu menyatukan langkah untuk mewujudkan destinasi pertama Wisata Geokultural di Kaldera Toba.

Horas, Kaldera Toba! (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] Ini salah satu versi cerita. Masih ada kontradiksi tentang perkawinan ini. Apakah Raha Sumba yg menikah dengan putri Siraja Lontung, atau kedua anaknya. Lihat: "Kontradiksi Silsilah Raja Lontung, Raja Sumba II, Simamora dan Sihombing," tobatabo.com

[2] Lihat: WM Hutagalung, Pustaha Batak: Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak, Penetbit Tulus Jaya, 1991; "Pengabdian USU, Raja Bius dan Si Hali Aek di Desa Tipang," usu.ac.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun