Bukan Samosir tapi Sibandanglah pulau yang sebenar-benarnya pulau di danau Kaldera Toba. Berada di sisi selatan kaldera, tepat di mulut teluk Muara, Sibandang sepenuhnya dikelilingi air.
Samosir sendiri sejatinya adalah semenanjung. Dia resmi menjadi pulau hanya setelah Belanda menggali terusan Wilhelmina (1905-1907) pada tanah genting yang menghubungkan daratan Samosir dengan kaki Gunung Pusukbuhit.
Pulau Sibandang itu semacam benteng alami bagi lembah Muara di selatannya. Melindungi kampung dan sawah di sana dari hantaman gelombang dan terpaan angin utara. Selat berteluk yang memisahkan pulau dan lembah itu tenang sepanjang waktu.
Berdiri di bibir pantai Muara menghadap ke utara, saujana, tampak semata serenitas. Kedamaian yang berhias riak-riak kecil air teluk atau selat, layaknya jutaan anak kecil yang berkejaran tiada lelah.Â
Lalu di seberang tampak pulau Sibandang yang selalu hijau, seperti gergasi yang mengambang tenang di permukaan danau, setia melindungi lembah Muara yang permai.
Sibandang itu unik, tiada duanya di Kaldera Toba. Dia satu-satunya pulau sejati Kaldera Toba yang dihuni manusia sejak ratusan tahun lalu. Tidak seperti pulau-pulau mini lainnya -- Simamora, Tulas, Tao, Hole, Tolping, Sitakke-takke -- yang tak berpenghuni.Â
Sibandang termasuk lokasi pemukiman tertua di Kaldera Toba. Dia unik dan lengkap sebagai ekologi manusia kaldera.
Geologi dan Geografi Sibandang
Pulau Sibandang kini mudah dijangkau. Dari Bandara Silangit Siborong-borong hanya perlu waktu 45 menit berkendara turun ke lembah Muara di utara. Dari pelabuhan Muara, sambung naik kapal penyeberangan ke Pelabuhan (Desa) Sibandang, sekitar 10 menit. Tak sampai sepenghisapan sebatang rokok, sudah tiba di pulau itu.Â
Pulau ini aslinya adalah kubah lava dasit, batuan beku berbutir halus, yang terbentuk 46.000 tahun lalu, atau 28.000 tahun setelah letusan Gunung Toba 74.000 tahun lalu.Â
Letusan terakhir dan terdahsyat itu terjadi tepat di kaldera Sibandang, di area Tao Muara, area danau antara Sibandang/Muara di selatan dan Nainggolan di ujung selatan Samosir.
Karena berupa kubah lava, maka Pulau Sibandang jadinya berbentuk gunung seperti halnya Pusukbuhit di sisi barat danau dan Sipiso-piso di sisi utara. Topografi gunung itu membuat pulau ini tak punya lembah datar yang dapat diolah menjadi sawah. Juga, karena ukurannya kecil, tak ada sungai untuk sumber pengairan di sana.Â
Tersebab kemiringan lereng yang tinggi, warga Sibandang memilih membangun pemukiman di sepanjang garis pantai. Di situ terdapat ceruk-ceruk landai yang bisa dimanfaatkan sebagai lokasi pemukiman.Â
Demikianlah terbentuk tiga area pemukiman di Sibandang. Jika dilihat dari udara, Sibandang itu seperti ikan pari manta yang sedang berenang ke selatan. Bagian ekornya (utara) adalah Desa Sampuran; belahan kiri badannya (timur) adalah Desa Sibandang; belahan kanan badannya (barat) adalah Desa Papande.
Genealogi dan Demografi Sibandang
Menurut tarombo dan turi-turian, tambo dan hikayat Batak, penghuni pertama Sibandang adalah Simatupang dan Aritonang. Keduanya putra Siraja Lontung dan istrinya Siboru Pareme -- sebenarnya ibundanya sendiri.
Dikisahkan Siraja Lontung, generasi keempat orang Batak, berputra tujuh orang. Anak sulung Situmorang, lalu Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan si bungsu Siregar.Â
Semula mereka berdiam di lembah Sabulan, sebelah utara Sibandang. Tapi suatu bencana banjir bandang meluluh-lantakkan Sabulan. Karena itu keluarga Simatupang dan Aritonang pindah ke Sibandang. Sementara yang lainnya ke Samosir.
Suatu sengketa pertanahan kemudian memisahkan pemukiman Simatupang dan Aritonang. Simatupang menguasai lembah subur Muara. Sedangkan Aritonang menguasai Sibandang dan perbukitan di sebelah timur lembah Muara.Â
Sengketa itu juga menyebabkan Aritonang mengundang adiknya Siregar dari Sigail Aeknalas, Samosir untuk tinggal di Sibandang. Itulah asal-usulnya sehingga Sibandang dihuni marga raja Aritonang dan Siregar.Â
Lazim juga disebut Sibandang dihuni empat marga -- ditandai empat pohon hariara di tengah pulau. Sebab tiga putra Aritonang telah menjadi marga raja tersendiri yaitu Ompusunggu, Rajagukguk, dan Simare-mare. Ketiganya adalah generasi keenam orang Batak.
Jika benar marga Aritonang sudah mencapai 33 generasi, sesuai tinggi tugu Aritonang (33 meter) di Desa Aritonang, berarti Sibandang sudah dihuni sejak 825 tahun lalu. Asumsinya satu generasi adalah 25 tahun. Artinya Aritonang sudah bermukim di Sibandang sejak akhir abad ke-12.
Sesuai adat mukim Batak maka Ompusunggu, Rajagukguk, Simare-mare, dan Siregar adalah raja-raja huta atau kampung. Tapi sahala harajaon, karisma kuasa rupanya paling besar pada Rajagukguk dan keturunannya.Â
Salah seorang keturunan Rajagukguk yang paling terkenal sebagai jaihutan atau Raja Sibandang adalah Ompu Raja Hunsa. Dia diketahui meraja di Sibandang pada abad ke-18. Emilio Modigliani, seorang Italia yang menjelajah Tanah Batak tahun 1890-1891 sempat bertemu dengannya dan menyebutnya "bajak laut" penguasa Tao Muara.
Pelabelan oleh Modigliani itu etnosentris -- menghebat-hebatkan diri sendiri sebagai bule petualang. Hal yang sebenarnya, Ompu Raja Hunsa adalah seorang raja yang bijak dan bajik. Setiap orang yang melintas di perairan Sibandang selalu dicegatnya, lalu dijamu makan sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.Â
Selain artefak makam batunya, dua peninggalan Ompu Raja Hunsa yang masih bisa disaksikan adalah "istana raja" berupa ruma bolon Batak. Satu di Sibandang -- disebut juga Sibandang Bolak -- dan satu lagi di Sosor Silintong, di area atas Sibandang.Â
Setiap "istana" itu dilengkapi dengan partungkoan atau arena persidangan, berupa kursi-kursi batu lava dasit yang disusun setengah lingkaran.
Istana Sosor Silintong secara khusus berstruktur benteng. Istana itu aslinya hanya terdiri dari satu ruma bolon. Lalu di sampingnya ada satu rumah tinggal biasa. Sekeliling area istana, sekitar 2 ha, dibangun tembok batu setinggi dua meteran.Â
Di atas tembok itu ditanam bambu duri. Gerbang masuk komplek istana adalah celah sempit pada tembok batu. Demikian pula gerbang keluar ke belakang, ke tanah makam.
Konon kompleks istana itu sekaligus berfungsi benteng pertahanan. Baik pertahanan dari serangan kampung lain, maupun dari serangan tentara Belanda semasa Perang Batak (1878-1907).
Kini era raja-raja telah berlalu. Sibandang, Papande, dan Sampuran sudah menjadi desa-desa Indonesia merdeka. Sebanyak 2.357 warga pulau yang tersebar di tiga desa kini dipimpin tiga kepala desa. Bukan oleh raja, sekalipun kepala desa itu anggota marga raja.Â
Dengan luas pulau 11,94 km2, kepadatan penduduk Sibandang terbilang tinggi. Data BPS Tapanuli Utara (2023) mencatatkan kepadatan 197 jiwa per km2. Sedikit di atas kepadatan penduduk Kecamatan Muara (183 jiwa per km2) tapi jauh di atas angka Kabupaten Tapanuli Utara (83 jiwa per km2).Â
Sibandang, bagaimanapun, harus mengendalikan pertumbuhan penduduknya. Secara bersamaan juga harus mengembangkan ekonominya. Untuk menyiasati daya dukung pulau yang terbatas.
Agroekologi dan Wisata Ekologi Manusia Sibandang
Sibandang sejak 2020 ditetapkan sebagai area geosite Tapian Nauli - Sibandang, di bawah pengelolaan Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT). Sebagai area geosite maka tiga potensi Pulau tersebut -- yaitu keanekaragaman geologis, biologis, dan budaya akan dikelola dan dikembangkan demi kemajuan Sibandang dan Kaldera Toba umumnya.
Agroekologi Sibandang adalah pertanian lahan kering. Hingga ke puncak Sibandang, warga mengusahakan tanaman hortikultura tahunan seperti mangga, kakao, kopi, dan kemiri. Juga mengusahakan hortikultura musiman seperti bawang merah, kacang tanah, dan ubi-ubian. Tak lupa, palawija jagung.
Kebun mangga Toba merupakan kekayaan hayati terpenting di Sibandang, sekaligus sumber pendapatan utama bagi penduduknya. Pulau ini dijuluki "Pulau Mangga" karena dipenuhi ribuan pohon mangga berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Mangga Sibandang khas dengan buahnya yang berukuran kecil, rasa sangat manis, dan warna kulitnya kuning cerah.
Sibandang dan desa-desa lain di Muara, adalah penghasil mangga Toba terbesar di Sumatera Utara. Pulau ini memasok buah mangga ke kota-kota di Sumatera Utara, semisal Tarutung, Balige, Parapat, Siantar, sampai Medan.
Selain mangga, warga Sibandang juga mendapatkan penghasilan dari kerajinan tenun ulos Batak. Desa Papande misalnya terkenal sebagai penghasil ulos harungguan terbaik -- ulos yang menggabungkan semua motif ulos Batak. Pewarnaannya masih menggunakan bahan alami dan penenunannya menggunakan gedogan.
Seiring statusnya sebagai geosite Kaldera Toba, wisata kini menjadi harapan baru sebagai sumber pendapatan bagi penduduk Sibandang. Pulau itu sudah ditetapkan sebagai desa wisata.
Potensi ekologi manusia Sibandang bernilai jual tinggi sebagai obyek wisata. Mulai dari wisata geologi (batuan), sejarah (istana raja, benteng, area sidang), budaya (ulos, tari), alam asli (pemandangan), kebun (mangga, bawang), trekking (keliling pulau, mendaki pulau), dan wisata air (mancing, renang).
Hasahatan (Penutup)
Barangkali Pulau Sibandang bisa dijuluki sebagai destinasi wisata ekologi manusia yang memenuhi syarat one stop shopping. Semua obyek wisata ekologi manusia Kaldera Toba, kecuali sawah (ada di Muara), bisa ditemukan di sana, walau tentu saja khas Sibandang. Mulai dari wisata geologi, sejarah, budaya, alam, sampai wisata agro bisa ditemukan di sana.
Menikmati segala potensi wisata ekologi manusia di Sibandang sama dengan menyelami sejarah terbentuknya Kaldera Toba dan masyarakat adat Batak.Â
Tinggal kini bagaimana Pemda Tapanuli Utara, Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, dan masyarakat adat setempat bisa bersinergi mengembangkan Sibandang menjadi "pulau wisata ekologi manusia" kelas dunia. Wisata bisa menyiasati daya dukung pulau yang terbatas.
Barangkali tak berlebihan jika berharap suatu saat Pulau Sibandang menjadi pulau wisata ekologi manusia Batak dalam bentuk terbaiknya di Kaldera Toba. Bukan sekadar desa wisata biasa seperti sekarang. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H