Mulajadi Nabolon, Dewata Agung Batak, mewujud dalam tiga dewata tinggi. Bataraguru yang berkuasa atas  Banua Toru dengan kuasa penciptaan; Soripada (Balasori)  yang berkuasa atas  Banua Tonga dengan kuasa pengelolaan;  Mangalabulan (Balabulan) yang berkuasa atas Banua Ginjang dengan kuasa pembaruan.
Dikisahkan Boru Deakparujar, seorang dewi cantik pandai tenun, putri Bataraguru melarikan diri ke Banua Tonga dengan cara meluncur pada seutas benang tenun. Hal itu dilakukannya untuk melepaskan diri dari perjodohan dengan Raja Odap-odap, putra Mangalabulan yang bersosok bengkarung raksasa.
Tiba di Banua Tonga, kakinya menyentuh air samudra maha luas, perbatasan dengan Banua Toru.  Karena Banua Tonga diliputi kegelapan, Deakparujar memohon kepada Mulajadi Nabolon agar diberi terang.  Maka jadilah terang.
Lantas karena tak ada tanah tempat berpijak, Deakparujar memohon sekepal tanah kepada Mulajadi Nabolon. Itupun dikabulkan. Sekepal tanah itu lalu ditenunnya menjadi hamparan tanah datar di atas samudera.
Taik ingin Deakparujar sukses, Bataraguru mengutus Raja Padohaniaji ke Banua Toru untuk mengganggu. Dia berkali-kali mengguncang Banua Toru dengan gempa sehingga hamparan tanah tenunan Deakparujar di Banua Tonga hancur-lebur.
Dengan kecantikannya, Deakparujar merayu Padohaniaji hingga mabuk kepayang. Saat dia lupa diri, Deakparujar memasung Padohaniaji pada sebuah tungkot, tongkat sakti.Â
Setelah itu "penenunan" tanah oleh Deakparujar berjalan aman. Dia berhasil "menenenun" hamparan tanah yang sedemikian luasnya, hingga Padohaniaji terkubur di bawahnya.
Untuk mengisi tanah kosong itu, Deakparujar memohon pada Mulajadi Nabolon agar dikirimi benih segala tumbuhan dan bibit segala hewan. Permohannya dikabulkan. Maka semaraklah tanah itu dengan aneka tumbuhan dan hewan.
Itulah Banua Tonga, sebuah "bumi datar" yang disebut Tano Batak. Titik pusatnya, atau titik nol, adalah sebuah bukit yang kemudian dinamai Dolok Pusukbuhit.
Pada suatu hari Deakparujar naik ke puncak Pusukbuhit, titik awal dia menenun tanah. Dari ketinggian dia melihat betapa indah seluruh alam ciptaannya. Tumbuhan hijau dan berbunga, hewan-hewan bercengkerama, dan air danau biru berkilauan.Â
Tapi, di tengah keindahan itu, dia merasa jiwanya sepi. Sebab tak ada teman hidup di sampingnya. Batinnya berbisik, andai saja Mulajadi Nabolon mengirimkan seorang lelaki untuk pendamping hidupnya.