Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kaldera Toba Menanti Kiprah Arkeolog

29 November 2023   17:41 Diperbarui: 30 November 2023   01:41 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lumpang batu berornamen di Samosir (Foto: BPCB Banda Aceh/kemdikbud.go.id)

Ketika sekelompok geolog BRIN mengidentifikasi keberadaan "Piramida Toba" di Bakkara, tepian barat Kaldera Toba, saya bertanya-tanya kemana sih perginya para arkeolog.

Dari sudut pandang disiplin ilmu, langkah kelompok geolog itu bisa dikategorikan menerabas demarkasi saintifik, masuk ke wilayah arkelogi. 

Sekadar temuan awal, identifikasi para geolog itu sebenarnya baik-baik saja. Namun, etikanya, temuan itu mestinya diserahkan kepada para arkeolog. 

Arkeologlah yang secara saintifik memiliki otoritas dan kompetensi untuk penelitian lebih lanjut tentang "Piramida Toba" itu -- entah dia benar ada atau tidak. Tentu, nantinya, pasti melibatkan geolog juga dalam sebuah tim riset antardisiplin.

Untungnya, sudah ada bantahan awal dari arkeolog senior Harry Truman Simanjuntak. Harry menolak kemungkinan adanya bangunan piramida dalam budaya Batak. Dia bicara sebagai ahli arkeologi prasejarah. [1]

Sudah ada pula tim kecil arkeolog BRIN yang sempat melakukan ekskavasi "diam-diam" di sana.  Mereka hanya menemukan 7 kerangka manusia di kolong rumah tua berusia sekitar 200-an tahun. Juga lumpang batu, gerabah, dan mata uang koin masa Belanda. Tak ada indikasi piramida. [2]

Jadi lupakan saja kehebohan soal "Piramida Toba".  Mungkin itu hanya isu sensasional ala "Indiana Jones". Seperti halnya kehebohan "Piramida Gunung Padang". 

Banyak pertanyaan arkeologis seputar Kaldera Toba yang jauh lebih penting dicari jawabannya.  Untuk itulah Kaldera Toba mengundang para arkeolog Indonesia untuk berkiprah di sana.  

Lumpang batu berornamen di Samosir (Foto: BPCB Banda Aceh/kemdikbud.go.id)
Lumpang batu berornamen di Samosir (Foto: BPCB Banda Aceh/kemdikbud.go.id)

***

Dalam kerangka ekologi manusia, Kaldera Toba itu -- kini menjadi Geopark Global UNESCO -- adalah interaksi koevolutif antara pilar-pilar keanekaragaman geologis, biologis, dan budaya komunitas setempat.  

Dalam interaksi koevolutif, berubah bersama, itu budaya tampil memimpin di depan.  Dialah yang membentuk tipe ekologi budaya, yaitu dengan cara bagaimana potensi keragaman ekologis dan biologis dikelola untuk kemaslahatan komunitas.  

Ekologi budaya Kaldera Toba itu, sebagaimana bisa disaksikan sekarang, adalah sawah berpengairan.  Jelas inti budaya Batak di sana adalah pertanian padi sawah. 

Dalam konteks ekologi budaya sawah itu, manusia Batak di Kaldera Toba menciptakan dan menggunakan ragam perlengkapan dan bangunan pendukung kegiatan hidup. Semisal  perlengkapan kegiatan pertanian, kuliner, religi, kesehatan, perang, dan adat. Serta bangunan-bangunan pemukiman, religi, dan kematian. 

Perlengkapan dan bangunan itu, bersama dengan kerangka atau sisa mahluk hidup, adalah artefak arkeologis.  Riset arkeologis akan menentukan umur dan kegunaan suatu perlengkapan dan bangunan di masa lalu. Itu menjadi dasar untuk merekonstruksi kehidupan sekelompok manusia  dahulu kala, pada era prasejarah ataupun sejarah.

Untuk rekonstruksi semacam itulah kehadiran para periset arkeologi sangat diharapkan di Kaldera Toba. Mereka diharapkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang peri kehidupan generasi-generasi awal orang Batak di sana. Sekaligus membuat terang asal usul etnis tersebut.

Kerja arkeolog di Kaldera Toba sejauh ini terutama baru mengungkap artefak-artefak yang ada di permukaan tanah.  Seperti sarkofagus,  meja-kursi batu persidangan, lumpang batu, tembok batu kampung, punden batu berundak, batu upacara religi, dan rumah adat tua. Artefak-artefak itu kini dijadikan obyek wisata budaya.

Satu hal yang menarik sebenarnya adalah temuan artefak batu di Kaldera Toba. Sarkofagus, meja-kursi batu persidangan, tembok batu, punden batu, dan batu upacara religi itu disebut sebagai tinggalan era megalitikum, zaman batu besar.  Entah itu dari era megalitikum tua (2500-1500 SM) atau, katakanlah, dari era megalitikum muda (1000-500 SM).

Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah etnis Batak pertama sudah mendiami Kaldera Toba sekurangnya pada tahun 500 SM?  Itu berarti bahwa orang Batak sudah ada sekurangnya sejak 2,500-an tahun yang lalu. Jauh sebelum Yesus Kristus lahir ke dunia.

Sementara itu berdasar hitungan mundur generasi, diperkirakan leluhur pertama orang Batak itu baru hadir di Kaldera Toba sekitar abad ke-13, atau sekitar satu milenium yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana jalan ceritanya sehingga manusi tahun 1200-an masih menggunakan peralatan dari era megalitikum (2500-500 SM)?

Barangkali suatu hipotesis dapat dibuat. Leluhur orang Batak itu berasal dari satu komunitas era megalitikum.  Mereka membawa serta teknologi batu itu sebagai bagian dari cara hidup di Kaldera Toba.  

Lalu muncul satu pertanyaan lagi.  Dengan teknologi zaman batu itu, kapan dan bagaimana proses evolusi budaya Batak dari pemburu/pengumpul/peramu menjadi petani padi sawah? 

Secara hipotetis, mungkin leluhur Batak bukanlah komunitas tunggal. Mungkin saja  ada beberapa komunitas dan salah satunya telah mengenal budidaya padi sawah.

Hipotesis-hipotesis itu tentu harus dibuktikan secara arkeologis. Dan itu berarti mempersyaratkan riset arkeologis atau ekskavasi yang intensif di titik-titik lokasi historis di kawasan Kaldera Toba.

Kampung Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusukbuhit Samosir, diyakini sebagai kampung orang Batak pertama (Foto: calderatobageopark.org)
Kampung Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusukbuhit Samosir, diyakini sebagai kampung orang Batak pertama (Foto: calderatobageopark.org)

***

Tentu arkeologi punya kaidah metodologis sendiri dalam kerja risetnya.  Jadi  soal metode itu, baiklah  dipercayakan saja kepada para arkeolog sendiri.

Namun demikian, jika para arkeolog akan melakukan ekskavasi di Kaldera Toba,  tiga lokasi dapat dipertimbangkan sebagai tempat penentuan titik penggalian.  Tiga lokasi itu adalah bius (pusat federasi huta, kampung) utama dan pertama di Kaldera Toba atau Tanah Batak, sebagai berikut:

  • Kampung Sianjurmula-mula di lembah Limbong-Sagala, kaki Gunung Pusukbuhit.  Sianjurmula-mula adalah bius pertama di Tanah Batak yang secara mitologis diyakini sebagai bentukan Si Raja Batak, komunitas Batak generasi pertama. Raja bius ini secara tradisi kemudian diangkat dari Dinasti Jonggimanaor (Limbong). Bius Sianjurmula-mula kemudian menjadi pusat federasi kampung-kampung Batak dari rumpun marga Naimarata.
  • Kampung Urat, Palipi Pulau Samosir sisi barat. Urat adalah bius atau pusat federasi kampung-kampung Batak dari rumpun marga Lontung keturunan Sariburaja. Raja bius secara tradisi diangkat dari Dinasti Paltiraja (Sinaga).
  • Kampung Baligeraja, sekarang Balige. Bius Baligeraja adalah bius atau pusat federasi kampung-kampung Batak dari rumpun marga Sumba keturunan Sorimangaraja.  Raja bius secara tradisi diangkat dari Dinasti Sorimangaraja.

Tiga kampung atau pusat bius tersebut adalah pusat tiga "kerajaan" pertama di Kaldera Toba.  Raja tiga bius itu disebut sebagai Pendeta Raja (King priest).  Jarak genealogis bius Sianjurmula-mula dengan Urat dan Baligeraja diperkirakan sekitar 5 generasi.

Dengan konteks historis seperti itu, maka besar kemungkinan tanah kampung Sianjurmula-mula, Urat, dan Baligeraja menyimpan artefak-artefak budaya yang penting.  Artefak-artefak itu mungkin bisa menjelaskan asal-usul orang Batak. Sekaligus menjelaskan evolusi ekologi budaya orang Batak di masa lalu, dari non-tani ke pertanian sawah. 

Urgensi riset arkeologis itu adalah untuk memberi kejelasan tentang asal-usul dan sejarah ekologi budaya orang Batak (Toba) sebagai manusia kaldera. Orang Batak umumnya sejauh ini hanya berpegang pada tarombo (tambo) marga yang sepertiganya adalah legenda dan sepertiga lagi mitologi. Mereka selalu mengatakan leluhurnya adalah Si Raja Batak, orang Batak pertama yang membuka kampung (pertama) di Sianjurmula-mula.

Sejarah geologis Kaldera Toba kini sudah terungkap. Dia adalah  hasil empat kali letusan Gunung Toba di masa lalu.  

Tapi sejarah asal-usul dan evolusi ekologi budaya orang Batak sebagai manusia kaldera, serta sejarah pendayagunaan flora dan fauna, belum banyak tersingkap.  

Karena itu boleh dikatakan orang Batak sejatinya belum tahu sejarah kehadiran mereka di danau Kaldera Toba yang permai itu. Arkeolog sangat ditunggu kiprahnya mengungkap sejarah hidup yang terpendam di bawah tanah kaldera. (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] "Adu Gagagsan 2 peneliti di Temuan Piramid Toba, Singgung Leluhur", CNN Indonesia, 9 Oktober 2023.

[2] "Peneliti Temukan 7 Kerangka Manusia di Sekitar Piramida Dekat Danau Toba", detiksumut.com, 6 Oktober 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun