Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Batu Bicara Riwayat Kaldera Toba

27 November 2023   15:25 Diperbarui: 12 Januari 2024   06:29 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Manusia bertanya-tanya, bebatuan menyimpan jawabannya." -Felix Tani

Semasa kanak-kanak,  aku percaya "Batu Gantung" pada dinding Kaldera Toba di kampung Sibaganding itu adalah seorang gadis Batak yang membatu dalam upaya bunuh diri. Dia lari dari rencana kawin paksa dengan lelaki pilihan orangtuanya.

Begitulah sebuah legenda mengunci pikiranku. Waktu itu setiap kali melintasi jalan raya di atas "Batu Gantung" itu, dalam perjalanan naik bus dari Toba ke Sumatera Timur dan sebaliknya, bayangan seorang gadis cantik yang malang muncul dalam benakku. 

Dalam imajinasiku, ada seorang gadis cantik berdiri di bibir tebing batu. Lalu dia terjun ke danau untuk menjemput kematiannya. Tapi air danau menolak tubuhnya. Maka rambut panjang gadis itu tersangkut pada celah batuan di dinding kaldera. Dia tergantung lalu membatu di situ. 

Saat menginjak bangku SMA di akhir 1970-an, aku tak percaya lagi "Batu Gantung" itu ujud gadis cantik yang membatu akibat takdir alam. Aku sadar itu adalah tonjolan batu yang terbentuk lewat proses geologis ribuan tahun lalu.  Sama seperti bongkah-bongkah batu raksasa yang tersingkap pada dinding kaldera di atas jalan raya ruas Sibaganding - Parapat. 

Pemandangan singkapan batuan seperti di Sibaganding itu jamak di lingkar Kaldera Toba.  Aku pernah turun ke lembah Haranggaol dan Tongging di utara Danau Toba.  Juga ke lembah Silalahi dan Pangururan di sebelah barat serta Muara di baratdaya .  Sepanjang jalan yang berkelok-kelok dari atas sampai dasar lembah, aneka singkapan batu adalah pemandangan yang lazim.

Bisa dikatakan orang Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) yang bermukim di Kaldera Toba hidup di antara dan atau di atas batu yang tertutup debu vulkanik ribuan tahun lalu. Batu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekologi manusia di kaldera itu.

Namun warga kaldera umumnya tak menyadari batu-batu itu  menyimpan data atau informasi riwayat Kaldera Toba. Beruntung para ahli geologi dan vulkanologi, lewat riset yang ketat dan teliti, telah berhasil menyuruh batu-batu itu berkisah. Sehingga riwayat terbentuknya kaldera menjadi terang-benderang.

Batu-Batu Berbicara

Semenjak Kaldera Toba ditetapkan sebagai geopark nasional (2014), dan terlebih kemudian sebagai geopark global UNESCO (2020), bebatuan di sana telah mendapatkan makna baru.

Sebuah geopark pada dasarnya tegak di atas tiga keragaman (diversity). Pertama, keragaman geologis bentukan peristiwa alam. Kedua, keragaman biologis yang hadir dan berkembang di atas keragaman geologis. Ketiga, keragaman budaya komunitas sosial yang membentuk ekologi manusia di atas keragaman geologis dan biologis itu.

Batu atau batuan di Kaldera Toba, baik yang tersingkap maupun yang terpendam, adalah wujud keragaman geologis. Batu-batu itu adalah kekayaan bumi pertama yang dihasilkan dari empat peristiwa letusan Gunung Toba ribuan tahun lalu.

Hasil riset geologis mengungkap bahwa batu-batuan itu ternyata berkisah tentang empat kejadian letusan Gunung Toba. Pada singkapan batuan itu para geolog dan volkanolog menemukan informasi riwayat Kaldera Toba. [1, 2]

Terdapat tiga kategori batuan yang tersingkap di Kaldera Toba. Ketiganya berkisah tentang proses pembentukan Kaldera Toba.

Batuan dasar

Batuan dasar adalah pembentuk utama Pulau Sumatera termasuk Dataran Tinggi Toba di dalamnya. 

Dari sejarah bumi, atau geologi, diketahui bahwa daratan Sumatera itu adalah bagian dari Superbenua Gondwana (100,000,000 km2). Gondwana adalah kerak bumi belahan selatan yang terbentuk oleh tabrakan antar berbagai lempeng bumi sekitar 800-650 juta tahun lalu.  Diperkirakan benua ini eksis dalam periode Palaezoikum (550-250 juta tahun lalu). 

Akibat pergeseran dan tabrakan lempeng-lempeng bumi di era Mesozoikum atau Jurasik (250-60 juta tahun lalu), Gondwana kemudian pecah berkeping-keping seperti rupa bumi yang tampak sekarang.  Dua pertiga wilayah benua saat ini, termasuk Amerika Selatan, Afrika, Antartika, Australia, anak benua India dan Arab adalah serpihan Gondwana.

Sumatra itu secara geologis dihitung sebagai bagian dari anak benua India. Jadi jelas Sumatra adalah serpihan kecil Gondwana, termasuk  bentang alam  yang 74,000 tahun lalu menjadi Kaldera Toba.

Dinding batu di balik air terjun Taman Eden di Geosite Taman Eden Lumbanrang-Uluan ini adalah batuan dasar dari era Palaezoikum (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 
Dinding batu di balik air terjun Taman Eden di Geosite Taman Eden Lumbanrang-Uluan ini adalah batuan dasar dari era Palaezoikum (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 

Batuan yang tersingkap di di dinding kaldera berkisah tentang itu. Jika kita berkunjung ke Geosite Taman Eden di Lumbanrang, blok Uluan, maka di situ ada air terjun setinggi 15 meter. Batu yang tersingkap di balik air terjun itu adalah batuan dasar asli Gondwana dari zaman Palaezoikum. Dia tersingkap saat badan Gunung Toba ambruk ke dasar kaldera saat letusan Kaldera Sibandang 74,000 tahun lalu. 

Dinding batu di air terjun Sipisopiso adalah batuan lumpur (pebbymud stone), batuan dasar asli benua Gondwana era Paleozoid yang tersingkap akibat amblasnya Gunung Toba pada 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 
Dinding batu di air terjun Sipisopiso adalah batuan lumpur (pebbymud stone), batuan dasar asli benua Gondwana era Paleozoid yang tersingkap akibat amblasnya Gunung Toba pada 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 

Singkapan batu lumpur bermur paleozoid, batuan dasar asli Benua Gondwana, di sisi jalan pada dinding utaraKaldera Toba, Geosite Tongging-Sipisopiso mengandung fragmen batuan gletseryang berasal dari kutub selatan (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 
Singkapan batu lumpur bermur paleozoid, batuan dasar asli Benua Gondwana, di sisi jalan pada dinding utaraKaldera Toba, Geosite Tongging-Sipisopiso mengandung fragmen batuan gletseryang berasal dari kutub selatan (Foto: BP Geopark Kaldera Toba) 

Paling jelas adalah batuan dasar yang tersingkap di dinding air terjun Sopisopiso, Geosite Tongging-Sipisopiso. Itu adalah batuan dasar asli Gondwana yang tersingkap saat badan Gunung Toba amblas ke dasar kaldera saat letusan 74,000 tahun lalu. Batuan serupa di tepi jalan turun menuju Tongging menunjukkan adanya fragmen batuan gletser (endapan es) asli Gondwana yang terbentuk di kutub selatan.

Batuan dasar yang lebih muda, batu gamping, dari era Mesozoikum (250 - 65 juta tahun lalu) bisa dilihat di situs "Batu Gantung", Geosite Parapat-Sibaganding. Tebing batu tempat "batu gantung" itu menempel adalah batuan dasar yang tersingkap saat terjadinya letusan Kaldera Porsea 840,000 tahun lalu. 

"Batu gantung" di Sibaganding (atas) adalah batuan karst yang menempel pada tebing batu gamping (bawah), batuan dasar yang tersingkap saat letusan Kaldera Porsea Gunung Toba 840,000 tahun lalu (Foto: calderatobageopark.org) 

"Batu gantung" itu sendiri, yang dilegendakan sebagai gadis yang membatu, adalah gamping yang mengalami karstifikasi -- menjadi batuan karst akibat terendam air dalam waktu lama. Karstifikasi serupa juga telah menghasilkan Liang Sipege, sebuah gua karst di Balige, sektor selatan kaldera.

Begitulah batuan dasar yang tersingkap pada dinding Kaldera Toba berkisah tentang sejarah bumi, sejak era Superbenua Gondwana sampai munculnya anak benua India, khususnya Sumatra sebagai salah satu fragmennya.

Batuan ignimbrit 

Ignimbrit adalah batuan vulkanik, muntahan piroklastik atau material bumi. Batuan ini umumnya adalah pecahan batu apung yang menyatu (welded) dengan material lain yang ada dalam aliran piroklastik dari perut bumi. 

Batuan ignimbrit di Kaldera Toba umumnya adalah hasil letusan Kaldera Porsea Gunung Toba 840,000 tahun lalu. Karena itu banyak ditemukan di blok Uluan, antara Parapat dan Porsea. Salah satu yang tampak jelas adalah batuan ignimbrit di komplek Hotel Patrayasa, Sibaganding.

Tapi letusan mahadahsyat 74,000 tahun lalu juga meninggalkan jejaknya berupa ignimbrit. Batuan itu bisa disaksikan pada tebing di sisi jalan, jika berkendara turun dari Silangit ke Muara.

Batuan ignimbrit di komplek Hotel Patrayasa Sibaganding, Geosite Parapat -Sibaganding yang terbentuk saat letusan Kaldera Porsea Gunung Toba pada 840,000 tahun lalu (Foto: BP Geosite Kaldera Toba)
Batuan ignimbrit di komplek Hotel Patrayasa Sibaganding, Geosite Parapat -Sibaganding yang terbentuk saat letusan Kaldera Porsea Gunung Toba pada 840,000 tahun lalu (Foto: BP Geosite Kaldera Toba)

Batuan ignimbrit yang sudah menyatu (welded) di sisi jalan menuju Geosite Muara-Sibandang, terbentuk saat letusan Kaldera,Sibandang Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geosite Kaldera Toba)
Batuan ignimbrit yang sudah menyatu (welded) di sisi jalan menuju Geosite Muara-Sibandang, terbentuk saat letusan Kaldera,Sibandang Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geosite Kaldera Toba)

Umur batuan ignimbrit di Kaldera Toba itu secara spesifik menceritakan pada usia letusan Gunung Toba di masa lalu. Sekurangnya sejauh ini menunjuk pada peristiwa letusan kedua (840,000 tahun lalu) di Kaldera Porsea dan letusan keempat (74,000 tahun lalu) di Kaldera Sibandang. 

Batuan tuff

Tuff terbentuk dari endapan abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Toba saat letusan pertama di Kaldera Haranggaol (1.3 juta tahun lalu), kedua di Kaldera Porsea (840,000 tahun lalu), ketiga di Kaldera Haranggaol lagi (501,000 tahun lalu), dan keempat di Kaldera Sibandang (74,000 tahun lalu).

Jelas bahwa umur batuan tuff itu menceritakan perkiraan waktu terjadinya masing-masing empat peristiwa letusan Gunung Toba. Karena itu usianya akan berbeda antara di dinding barat laut/utara, timur/tenggara,  selatan/baratdaya kaldera, dan Pulau Samosir. 

Batuan tuff di sekitar Gunung Pusukbuhit misalnya menjelaskan dengan baik peristiwa letusan 74,000 tahun lalu.  Untuk diketahui Gunung Pusukbuhit itu sejatinya adalah kubah lava yang terbentuk saat letusan keempat. Lava dan endapan debu di atasnya kemudian mengalami proses pembatuan. 

Batuan tuff yang terbentuk pasca-letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu di sisi ruas jalan raya Tele-Pangururan, Samosir (Foto: BP Geopark Kaldera Toba)
Batuan tuff yang terbentuk pasca-letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu di sisi ruas jalan raya Tele-Pangururan, Samosir (Foto: BP Geopark Kaldera Toba)

Contoh batuan tuff bisa dilihat jelas di Geosite Pusukbuhit-Sianjur Mulamula, dinding barat kaldera.  Jika kita turun dari Tele ke Pangururan, Samosir maka pada tebing di sisi jalan berkelok-kelok akan terlihat singkapan batuan tuff yang terbentuk pasca-letusan 74,000 tahun lalu. Warnanya kecoklatan sampai kekuningan.

Di bawah panorama alam Tuktuk, Samosir (atas) terdapat batuan tuff (bawah) yang terbentuk pasca-letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geopark Kaldera Toba)
Di bawah panorama alam Tuktuk, Samosir (atas) terdapat batuan tuff (bawah) yang terbentuk pasca-letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu (Foto: BP Geopark Kaldera Toba)

Contoh lainnya adalah batu persidangan di Huta Siallagan, Simanindo- Samosir.  Tak banyak yang tahu bahwa batu (meja dan kursi) itu diambil dari batuan tuff yang terbentuk di sana pasca letusan 74,000 tahun lalu.   Batuan tuff itu bisa disaksikan tersingkap  pada dinding di sisi jalan raya di Simanindo.

Kursi dan meja persidangan adat di Desa Siallagan, Simanindo terbuat dari batuan tuff hasil letusan Gunung Toba (Foto: samosirkab.go.id)
Kursi dan meja persidangan adat di Desa Siallagan, Simanindo terbuat dari batuan tuff hasil letusan Gunung Toba (Foto: samosirkab.go.id)

Tak hanya kursi-meja batu persidangan. Sarkofagus atau kuburan batu para raja huta (kampung) di Tomok  dan Tipang-Baktiraja juga terbuat dari batuan tuff tersebut.  Batu penyusun benteng kampung dan dudukan tiang-tiang rumah adat Batak juga terbuat dari batuan sejenis.

Wisata Batuan Kaldera

Wisata batu-batuan sebenarnya bukan hal yang aneh.  Bukan juga hal baru.  Stonehenge di Inggris misalnya adalah obyek wisata populer.  Bukit batuan karst di Ha Long Bay di Vietnam juga terkenal. Uluru atau Ayers Rock, bukit batu di Australia juga sangat terkenal sebagai obyek wisata.

Di Indonesia juga ada obyek wisata batu-batuan.  Semisal batu-batu menhir di Toraja, batu layar di Pangandaran dan Ambon, dan bukit karst di Maros Sulawesi.  

Bahkan di Kaldera Toba juga ada wisata batu yang pupuler.  Semisal Batu Gantung Sibaganding, Batu Marompa di Tamba Dolok Samosir, Batu Maranak di Tipang, Baktiraja, dan Batu Guru Pangaloan di pantai Nainggolsn, Samosir.  Semua itu batuan yang tersingkap atau terbentuk pasca-letusan Gunung Toba.

Salah satu rekomendasi UNESCO untuk program aksi Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT), sebagai salah satu langkah agar terbebas dari  "kartu kuning", adalah penetapan empat obyek batuan yang tersingkap atau terbentuk akibat empat kali letusan Gunung Toba.  Empat obyek itu dimaksudkan sebagai obyek geo-wisata Kaldera Toba.  Dengan membaca keterangan batuan itu, pengunjung bisa belajar sejarah geologis pembentukan Kaldera Toba dan bahkan sejarah bumi.

Penjelasan kepada warga setempat tentang nilai geologis dari batuan sekitar kaldera juga penting.  Sekarang ini marak kegiatan Galian C, penambangan batuan di sekitar kaldera untuk keperluan bahan bangunan dan jalan raya.  Itu memang kegiatan ekonomi rakyat.  Tapi perlu pengendalian dan pengawasan.  Jangan sampai batuan yang mengandung nilai informasi geologis penting berakhir menjadi fondasi rumah atau fondasi jalan raya.

Dua pihak bisa menjadi tumpuan harapan untuk melestarikan batuan dan menjadikannya obyek wisata geologi. BPGKT dan BPODT (Badan Pengelola Otorita Danau Toba).  Keduanya memang punya orientasi yang berbeda:  BPGKT berorientasi konservasi dan ekonomi rakyat, BPODT berorientasi investasi ekonomi wisata dan bisnis korporasi. Tapi itu bukan alasan bagi keduanya untuk tak bisa bersinergi menjadikan batuan Kaldera Toba bercerita kepada para wisatawan. (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] "Master Plan Geopark Kaldera Toba 2018-2030" (unofficial), BP-GKT, 2018.

[2] "Toba Caldera Geopark North Sumatra Indonesia: An Application Dossier for UNESCO Global Geopark", Tim Pengusulan GKT (tanpa tahun).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun