Aku putra asli Batak Toba, lahir dan tumbuh menjadi remaja di dataran sisi timur Danau Toba. Sampai tahun 1980, saat aku meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jawa, aku tak pernah menyadari telah tinggal di sebuah situs bencana alam terdahsyat di dunia.Â
Tak seorang pun pernah memberitahukan fakta itu padaku. Bahkan sekadar tak sengaja mendengar pembicaraan orang pun, aku tak pernah. Padahal Danau Toba dan sekitarnya itu adalah bagian dari ajang keseharian hidupku tahun 1960-1979.
Aku hanya tahu, dari pelajaran Ilmu Bumi semasa di SD, satu fakta sederhana. Danau Toba itu adalah danau vulkanik terbesar di dunia. Tapi gunung apa yang meletus dan kapan kejadiannya, tidak ada informasi. Seberapa luas dan dalam danau itu juga tak diungkap.Â
Setelah SMP dan kemudian SMA, di buku Geografi juga, barulah kubaca informasi panjang Danau Toba itu 100 km, lebarnya 30 km, dan luasnya 1,265 km2. Lalu kedalaman maksimumnya mencapai 529 m. Itu saja.
Aku yakin ikhwal ketidaktahuan tentang informasi geologis Danau Toba itu tak hanya terjadi padaku. Mayoritas warga masyarakat Batak di lingkar Danau Toba tak menyadari mereka hidup di sebuah bentang kaldera raksasa. Hasil letusan mahadahsyat, super volcano Gunung Toba ribuan tahun yang silam.
Walau terlambat, saatnya kini mengedukasi masyarakat setempat dan pengunjung tentang fakta geologis tersebut. Warga masyarakat berhak tahu di atas tanah macam apa mereka berpijak.
Hasil Empat Letusan Gunung Toba
Kehidupan kanak-kanak dan remajaku diwarnai interaksi dengan lingkungan Danau Toba. Semasa SD akhir 1960-an aku beberapa kali ikut nenek pergi ke Onan Tigaraja-Parapat, lalu berdiri di pelabuhan mengamati kapal-kapal, hamparan luas danau bergelombang, dan Pulau Samosir di kejauhan.Â
Lalu tahun 1975 aku ikut rombongan sekolah (SMP) berlayar keliling Danau Toba. Bahkan tahun 1977-1979 nyaris tiap minggu aku memancing atau mandi di pantai danau itu di Porsea.
Begitupun dengan warga setempat, mayoritas Batak. Nelayan bersampan menangkap ikan di danau. Warga naik kapal menyeberang danau dari Pulau Samosir ke "Daratan Sumatera" atau sebaliknya.Â
Petani menanam padi di lembah-lembah sekeliling danau, dan bawang merah di dinding miring kaldera. Juga menanam kopi, andaliman, nenas, dan sayuran di dataran lingkar danau. Anak-anak lelaki menggembalakan kerbau di padang rumput. Anak-anak perempuan mencuci perkakas dapur dan pakaian di pancuran atau pantai.
Di hari pasar, warga berkumpul di onan (pasar besar) untuk jual-beli hasil bumi dan barang-barang pabrik. Sore hari kaum laki berkumpul di lapo tuak, minum satu-dua gelas sambil melantunkan lagu-lagu Batak dengan iringan gitar akustik. Hari Minggu warga berkumpul memuliakan Tuhan di gereja, Kristen (Batak) Protestan dan Katolik.
Semua terlihat begitu indah, begitu damai. Orang-orang Batak melantunkan lagu "O Tano Batak" dan "O Tao Toba" yang memuliakan keindahan dan kemurahan Tanah Batak dan Danau Toba. Tanah dan danau yang menghidupi orang Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) yang berdiam di sana.
Tapi warga lokal nyaris tak pernah bertanya bagaimana tanah dan danau itu terhampar bagi mereka. Tak pernah menyadari mereka hidup di dalam sebuah bentang kaldera gunung berapi raksasa yang letusannya menyusutkan populasi manusia dan makhluk hidup lainnya ribuan tahun lalu.
Aku sendiri baru tahu asal-usul Danau Kaldera Toba itu setelah membaca laporan riset R.W. van Bemmelen (The Geology of Indonesia, The Haque: Martinus Nijhoff, 1949) di Perpustakaan LIPI pada akhir 1990-an. Kemudian juga membaca laporan riset Craig A. Chesner ("The Toba Caldera Complex", Quaternary International, Elsevier and INQUA, 2001).
Dari laporan-laporan itu diketahui Kawasan Toba berada di garis sesar Sumatra, patahan (kerak) bumi akibat sodokan Lempeng Indo-Australia di sebelah barat daya (5-7 cm/tahun) terhadap Lempeng Eurasia di sebelah timur laut.Â
Tumbukan dua lempeng itu memicu pengangkatan tanah Toba menjadi sebuah gunung setinggi 905 m dengan dapur magma di perutnya. Itulah Gunung Toba yang disebut van Bemmelen sebagai "Tumor Batak", karena bentuknya berupa tonjolan raksasa.Â
Letusan-letusan Gunung Toba itulah dahulu kala yang secara bertahap membentuk kaldera raksasa yang kini dikenal sebagai Danau Toba.Â
Hasil riset mencatat empat peristiwa letusan sebagai berikut:
- Letusan pertama 1.3 juta tahun lalu. Pusat erupsi di kaldera Haranggaol, ujung utara Danau Toba sekarang.
- Letusan kedua 840.000 tahun lalu. Pusat erupsi di kaldera Porsea, sebelah tenggara Danau Toba sekarang. Letusan ini memuntahkan 500 km kubik material batuan (piroklastik), debu, dan gas ke atmosfer.
- Letusan ketiga 501.000 tahun lalu. Pusat erupsi di kaldera Haranggaol, ujung utara Danau Toba. Letusan ini memuntahkan 60 km kubik material batuan (piroklastik), debu, dan gad ke permukaan.
- Letusan keempat 74.000 tahun lalu. Pusat erupsi di kaldera Sibandang (Muara), sebelah baratdaya Danau Toba kini. Letusan ini memuntahkan 2,800 km kubik material ke atmosfer, terdiri dari 2,000 km kubik abu vulkanik beracun dan 800 km kubik batuan (ignimbrit, batu apung).
Letusan keempat ini, selama 1 minggu, tercatat sebagai letusan gunung berapi terbesar dan terdahsyat (supervolcano) sepanjang sejarah bumi. Semburan abu vulkaniknya membubung setinggi 50 km ke udara lalu menyebar menutupi separuh bumi, dari daratan China sampai Afrika Selatan. Lava letusan menutupi sebagian besar wilayah Sumatera Utara.
Gara-gara letusan terakhir itu dunia mendekati kiamat. Atmosfer bumi dipenuhi erosol sulfat yang tak tertembus sinar matahari. Akibatnya bumi mengalami kegelapan total dan musim dingin selama 6 tahun dan penurunan suhu selama 1,000 tahun. Kondisi iklim ekstrim ini nyaris memusnahkan kehidupan di atas bumi.Â
Termasuk manusia, nyaris musnah juga. Antropolog Stanley H. Ambrose memperkirakan hanya sekitar 2.000-20.000 orang saja manusia yang selamat dari bencana letusan Gunung Toba. Merekalah nenek-moyang manusia bumi masa kini. (Lihat: "Late Pleistocene human population bottlenecks, volcanic winter, and differentiation of modern humans", Journal of Human Evolution 34 (6), 1998).
Letusan super 74.000 tahun lalu itulah yang menyempurnakan pembentukan Kaldera Toba seperti yang terlihat sekarang. Van Bemmelen bilang letusan itu telah meruntuhkan badan Gunung Toba ke dasar kawah. Sisa magma yang terperangkap di bawah patahan badan gunung itu kemudian mendorongnya perlahan kembali ke atas.Â
Saat kaldera telah tergenang air, menyembullah badan gunung itu kembali ke permukaan. Pertama-tama patahan barat, itulah pulau Samosir. Kemudian patahan timur, itulah blok Uluan -- tanah kelahiranku.
Belum diketahui secara pasti kapan kelompok manusia pertama datang ke Kaldera Toba dan berdiam di situ. Tapi berdasar hasil hitung mundur generasi, diperkirakan komunitas Batak pertama hadir di sana sekitar abad ke-12. Diduga mereka bermigrasi dari daerah Mongolia di utara. Turun ke Taiwan, lalu Filipina, Sulawesi (Toraja), Kalimantan, dan akhirnya sebagian tiba di Kaldera Toba.Â
Begitulah asal-usul Kaldera Toba. Letusan Gunung Toba membentuk struktur geologis kaldera. Proses-proses biologis puluhan ribu tahun kemudian menghadirkan flora dan fauna. Lalu kehadiran "Manusia Batak" sejak abad ke-12 menyempurnakan Kaldera Toba sebagai ekologi manusia Batak.
Masa Depan Kaldera
Manusia Kaldera Toba, orang Batak umumnya, sangat memuja dan mencintai tanah kelahirannya itu. Rona ekologi manusia Kaldera Toba sekarang ini adalah hasil ko-evolusi antara keragaman geologis, biologis, dan budaya manusia Batak.
Penting kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman bagi orang Batak yang hidup di sana, bahwa kaldera itu adalah situs bencana alam terbesar dan terdahsyat sejagat. Dia adalah warisan bumi yang nyaris memusnahkan kehidupan di bumi itu sendiri. Dan orang Batak khususnya adalah ahli waris bumi yang boleh tinggal di sana atas karunia Tuhan.
Hidup di kaldera terbesar di dunia bukanlah soal biasa. Kaldera Toba memang sangat indah. Danau dan lembahnya adalah kemurahan sumber-sumber hidup. Tapi di balik keindahan dan kemurahan itu, risiko bencana selalu mengintai. Sehingga warga kaldera perlu menguasai mitigasi bencana dan selalu waspada.
Sejak masa leluhur Batak abad ke-12 lalu, orang Batak sudah mengenal konsep lalo (gempa bumi) dan suhul (doa meredam gempa). Jika terjadi lalo maka warga akan meneriakkan mantra "Suhul!" berulang-ulang, agar gempa berhenti.Â
Dalam mitologi Batak dikisahkan dewata bumi, Rajapadoha telah diikat dan dipaku dengan pedang ke perut bumi oleh Boru Deakparujar, dewi pencipta tanah Batak (bumi).Â
Jika Rajapadoha menggeliat, maka terjadilah gempa. Warga meneriakkan mantra "Suhul!" dengan harapan Rajapadoha diam, takut bila suhul, gagang pedang ditekan semakin menusuk tubuhnya.
Makna mitos itu, orang Batak sebagai ahli waris Kaldera Toba harus siap hidup di atas jalur gempa bumi. Dalam arti mampu mengatasi dampak gempa yang hingga kini terjadi setiap tahun. Serta mampu mengelola tanah kaldera dengan kaidah-kaidah pelestarian.
Pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan diri sebagai manusia kaldera adalah keharusan bagi orang Batak yang hidup di sana. Dengan begitu mereka juga menerima tanggung-jawab sebagai pemanfaat dan pelestari utama keragaman geologis, biologis, dan budaya Kaldera Toba. Merekalah ahli waris penentu utama masa depan kaldera itu.
Tapi tentu saja tak hanya warga Batak (dan non-Batak) setempat. Pengunjung kaldera, yaitu para wisatawan, juga perlu diberi informasi secukupnya tentang asal-usul Kaldera Toba sebagai situs bencana global -- mengingat dampaknya yang mengglobal.Â
Di balik keindahan Danau Toba, para wisatawan perlu tahu mereka sedang berada di situs super volcano yang nyaris memusnahkan kehidupan di bumi.
Kini ada sekurangnya dua institusi khusus lingkup pemerintah yang bertanggung jawab pada pengelolaan Kaldera Toba.Â
Pertama, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang berorientasi pada eksploitasi potensi ekonomi wisata Kaldera Toba.Â
Kedua, Badan Pengelola Geopark Global Kaldera Toba (BPGGKT) yang berorientasi pada konservasi keragaman geologis, biologis, dan budaya Kaldera Toba.
Memang orientasi eksploitasi potensi ekonomi (BPODT) berdiri hadap-hadapan dengan orientasi konservasi alam dan budaya (BPGGKT). Namun dengan menempatkan kepentingan pelestarian dan pengembangan ekologi manusia Kaldera Toba sebagai simpul komunikasi, niscaya kedua institusi itu bersama kekuatan civil society setempat dapat bahu-membahu mewujudkan Kaldera Toba yang lebih menghidupi secara berkelanjutan. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H