Pangkal "kartu kuning" UNESCO untuk Geopark Kaldera Toba (GKT) adalah kegagalan organisasi dan ketiadaan rencana kerja definitif.Â
Tentang kegagalan organisasi, dalam hal ini Badan Pengelola GKT (BP-GKT) sudah saya ulas sebelum ini. (Lihat: "Agar Geopark Kaldera Toba Tak Kena Kartu Merah", Kompasiana.com, o2/11/2023). Â
Inti masalahnya, kinerja BP-GKT jauh dari optimal. Sebabnya organisasi itu tak otonom dan tak kapabel. Lantas personalianya juga kurang kompeten dan tak profesional.Â
Solusinya, ya, reorganisasi.
Lalu, soal ketiadaan rencana kerja definitif BP-GKT. Hal itu baru saya ketahui setelah mempelajari GKT lebih dalam. Itu sangat fatal. Mustahil bisa bekerja efisien dan efektif.
Jelas sudah masalahnya. Â Di satu sisi organisasi mandul, di sisi lain rencana program kerja nihil. Â Jadi, ya, begitulah. Â Tak ada aksi pengembangan GKT yang signifikan sepanjang tahun 2020-2023.
Karena itu, setelah mengusulkan reorganisasi BP-GKT, di sini saya hendak mengusulkan pula suatu paradigma, landasan pikir penyusunan rencana program kerja BP-GKT ke depan.
Kenapa paradigma? Karena itulah yang "hilang" dari pembangunan Geopark Kaldera Toba selama ini.
Kaldera Toba itu Ekologi Orang Batak
Sebenarnya, bukan tak ada sama sekali rencana program kerja GKT. Â Saya telah membaca dua naskah Rwncana Induk (Renduk) GKT (Versi 2018-2030 dan Versi 2018-2038) dan satu naskah Rencana Strategis (Renstra) 2020-2023 Bidang Pendidikan, Riset dan Pengembangan.Â
Masalahnya naskah-naskah itu bukan naskah resmi yang sudah disahkan. Statusnya masih draft. Â Karena itu tak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai kinerja BP-GKT.
Kendati cuma draft, tapi jelas naskah-naskah itu menunjuk pada tiga pilar pengelolaan GKT. Keragaman geologi, keragaman hayati, dan keragaman budaya kaldera.
Lantas dicanangkan  tiga bidang pengembangan. Konservasi, ekonomi, dan komunitas khususnya berupa edukasi.Â
Jika 3 pilar itu disilangkan dengan 3 bidang, maka didapat sebuah matriks pembangunan GKT dengan 9 sel. Â Semua program kerja yang direncanakan dalam naskah-naskah tadi dapat didistribusikan ke dalam 9 sel matriks itu.Â
Sebagai contoh saja, pengembangan agrowisata berada dalam sel "ekonomi x keragaman hayati" (misal: wisata kebun andaliman). Tapi ada juga di sel "ekonomi x keragaman budaya (misal: wisata ritus panen padi). Bahkan di sel "wisata × keragaman geologi" (misal: wisata sawah bertingkat).
Satu hal mendasar yang hilang  dari naskah-naskah renduk atau renstra tadi adalah paradigma pengelolaan dan pengembangan GKT. Paradigma, sederhananya, diartikan di sini sebagai keyakinan dasar yang menjadi landasan pikir dan tindakan ke depan.
Dalam konteks pengelolaan dan pengembangan GKT, pertanyaan paradigmatiknya adalah "apa dan bagaimana keyakinan dasar tentang eksistensi Kaldera Toba?"
Sebagai jawaban, di sini saya menawarkan paradigma ekologi manusia. Ekologi manusia merujuk pada relasi, intwraksi, dan ko-evolusi manusia dengan lingkubgannya.
Dengan itu saya bisa mengatakan bentang Kaldera Toba adalah ekologi manusia Batak. Ini dengan asumsi pemukim pertama dan asli, kemudian dominan, di Kaldera,Toba adalah etnis Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun).
Orang Batak adalah manusia kaldera. Itu kuncinya.
Dengan paradigma ekologi manusia kaldera itu, tiga pilar keragaman (geologi, hayati, budaya) dulihat sebagai tiga entitas yang terhubung dan  berinteraksi secara triangular. Resultan interaksi triangular itu adalah ekologi manusia kaldera Toba.
Relasi dan interaksi itu dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Skema paradigmatik di atas dibaca sebagai berikut:
- Manusia Batak adalah manusia Kaldera Toba;
- Ekologi manusia (Batak) Kaldera Toba itu adalah resultan (hasil) dari relasi dan interaksi antara keragaman geologis, hayati, dan budaya komunitas tempatan;
- Perubahan rona ekologis Kaldera Toba adalah hasil ko-evolusi interaktif antara keragaman geologi, hayati, dan budaya kaldera.
- Perubahan pada satu pilar keragaman akan membawa konsekuensi perubahan pada dua pilar lain dan, karena itu juga, rona ekologi manusia kaldera.
Mengacu paradigma itu, maka setiap aksi pengelolaan dan pengembangan (kebijakan, proyek pengembangan, infrastruktur) pada dasarnya menyasar pilar-pilar keragaman tadi dan relasi/interaksi antar pilar.
Setiap aksi dengan demikian akan berpengaruh pada ketiga pilar keragaman dan, dengan demikian juga, pada ekologi manusia kaldera.
Satu contoh saja. Misalkan ada program aksi pengembangan kebun andaliman sebagai tanaman endemik setempat. Itu berarti up-scaling area salah satu kekayaan hayati lokal. Sekaligus pengembangan bu(di)daya tani andaliman. Juga seleksi dan konservasi relung geologis (lapisan ranah/batuan) yang cocok untuk tanaman andaliman.
Begitulah artikulasi pendekatan holistik dalam pengelolaan dan pengembangan ekologi manusia Kaldera Toba. Tak ada satu program aksi yang berdiri sendiri. Setiap program aksi pengembangan ekologi manusia Kaldera Toba, selalu berdampak pada tiga keragaman kaldera.Â
Menjawab Rekomendasi UNESCO
Dalam rekomendasinya (2020 dan 2023), UNESCO selalu menekankan pentingnya mengelola dan mengembangkan interaksi triangular (saling-pengaruh) antara keragaman geologi, hayati, dan budaya.
Tapi, persis, itulah yang hilang dari naskah renduk/renstra dan beberapa program aksi aksidental yang sempat dikerjakan BP-GKT tahun 2020-2023.
Adopsi paradigma ekologi manusia kaldera, seperi saya tuturkan di atas, adalag jawaban pada rekomendasi UNESCO itu.
Dengan menerapkan paradigma itu maka dapat diungkap pola interaksi antara faktor geologi, hayati, dan budaya di (ekologi manusia) Kaldera Toba masa kini.Â
Bahkan, dengan asumsi ko-evolusi, bisa diungkap perubahan-perubahan ekologi manusia kaldera Toba  antar masa. Sekurangnya sejak abad ke-13, sejak komunitas pertama orang Batak tiba dan bermukim di Sianjurmula-mula, Lembah Limbong-Sagala di Samosir.
Analisis berdasar paradigma itu misalnya dapat mengungkap perubahan-perubahan pola pertanian manusia Batak kaldera. Misalnya dari peramu/pemburu, pekebun (porlak), sampai pesawah lembah. Juga menjelaskan pola domestikasi hewan -- ayam, kerbau, lembu, kuda, babi.
Paradigma ekologi manusia ini ditawarkan untuk mengisi kekosongan dalam renduk/renstra GKT. Tanpa paradigma, sebuah renduk/renstra dan implementasinya berisiko salah arah atau tersesat di lapangan.
Saya hanya berharap usulan paradigma ini tak menjadi srmacam tandiang na hapuloan, pakis raja yang tegak sendiri kesepian di tengah padang ilalang (vegetasi khas Kaldera Toba).
Akhir kata, sebuah umpasa leluhur Batak, Hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni hata. Pendapat satu orang adalah pendapat sinting, pendapat bersama adalah kesepakatan.Â
Mudah-mudahan tawaran paradigma Ekologi Manusia Kaldera Toba ini tak menjadi hata mamunjung hata lalaen.Â
Horas be ma di hita (Damai sejahteralah kita). (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H