Adopsi paradigma ekologi manusia kaldera, seperi saya tuturkan di atas, adalag jawaban pada rekomendasi UNESCO itu.
Dengan menerapkan paradigma itu maka dapat diungkap pola interaksi antara faktor geologi, hayati, dan budaya di (ekologi manusia) Kaldera Toba masa kini.Â
Bahkan, dengan asumsi ko-evolusi, bisa diungkap perubahan-perubahan ekologi manusia kaldera Toba  antar masa. Sekurangnya sejak abad ke-13, sejak komunitas pertama orang Batak tiba dan bermukim di Sianjurmula-mula, Lembah Limbong-Sagala di Samosir.
Analisis berdasar paradigma itu misalnya dapat mengungkap perubahan-perubahan pola pertanian manusia Batak kaldera. Misalnya dari peramu/pemburu, pekebun (porlak), sampai pesawah lembah. Juga menjelaskan pola domestikasi hewan -- ayam, kerbau, lembu, kuda, babi.
Paradigma ekologi manusia ini ditawarkan untuk mengisi kekosongan dalam renduk/renstra GKT. Tanpa paradigma, sebuah renduk/renstra dan implementasinya berisiko salah arah atau tersesat di lapangan.
Saya hanya berharap usulan paradigma ini tak menjadi srmacam tandiang na hapuloan, pakis raja yang tegak sendiri kesepian di tengah padang ilalang (vegetasi khas Kaldera Toba).
Akhir kata, sebuah umpasa leluhur Batak, Hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni hata. Pendapat satu orang adalah pendapat sinting, pendapat bersama adalah kesepakatan.Â
Mudah-mudahan tawaran paradigma Ekologi Manusia Kaldera Toba ini tak menjadi hata mamunjung hata lalaen.Â
Horas be ma di hita (Damai sejahteralah kita). (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H