Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Riset Skripsi di Tulangbawang Lampung Tahun 1984 (Bagian 5)

24 Oktober 2023   20:00 Diperbarui: 25 Oktober 2023   15:51 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh rumah transmigrasi pada tahun-tahun awal (Foto: via disway.id)

Enam bulan pertama transmigran belum bisa menghasilkan apapun dari tanah pekarangannya. Itu sebabnya mereka diberi pemerintah jatah hidup (jadup). Bahkan ada kalanya para suami pergi ke Bandarlampung untuk cari nafkah tambahan di sektor informal.

Tak jarang pula timbul sengketa dengan penduduk lokal yang mengklaim lahan transmigrasi sebagai tanahnya.  Bukan sekali dua kali golok teracung ke udara sebagai upaya mempertahankan hak.

Daya tahan dan daya juang transmigran betul-betul diuji.  Bukan hanya dalam 6 bulan pertama, tapi juga selama satu tahun pertama.

Di situlah terlihat perbedaan daya tahan transmigran berdasar etnis.  Para informan menuturkan, transmigran yang paling gigih dan berhasil adalah orang Bali.  Mereka menunjuk pada transmigran bedol desa Bali di Banjaragung, termasuh UPT II sebagai bukti nyata.  Orang Bali di situ membentuk satu komunitas yang utuh seperti di kampung asalnya Bali.  Rumah-rumahnya bagus dan usahataninya subur.

Kegigihan orang Jawa Tengah berada di bawah orang Bali.  Orang Jawa lazimnya tekun bekerja.  Sedapat mungkin lahan pekarangan diusahakan sebagai sumber pangan pendukung, semisal singkong, ubi jalar, jagung, dan buah-buahan.

Transmigran yang paling rendah daya tahannya adalah orang Jawa Barat.  Terbukti transmigran asal Jawa Barat ini yang paling banyak kabur pulang kampung setelah jadup habis.

Mereka yang kabur pulang kampung itu akan menjual rumah dan lahannya kepada tetangga atau sesama transmigran.  Uangnya digunakan untuk ongkos pulang dan modal usaha di kampung asal.  

Kadang ada juga transmigran yang telah kabur itu mendaftar ikut transmigrasi lagi. Semata-mata untuk memperoleh jatah lahan, lalu menjualnya lagi kepada transmigran lain setelah jadup habis.  Itu curang, tapi banyak terjadi.

Perilaku semacam itu memungkinkan terbentuknya petani besar di daerah transmigrasi.  Di UPT IX seorang informanku, kontak tani, memiliki tanah seluas 12 hektar.  Dia membeli tanah itu dari para transmigran yang kabur pulang kampung.

Hal serupa juga terjadi di UPT I dan II. Bahkan bukan hanya antar transmigran, tapi juga pendatang yaitu orang Batak. Orang Batak ini awalnya datang sebagai pedagang pengumpul hasil bumi.  Tapi kemudian mereka juga membeli tanah jatah milik transmigran yang kabur pulang kampung. Demikian caranya orang Batak punya kebun karet (atau sawit) di daerah transmigrasi.

Sebuah Kecelakaan Tunggal

Hilir-mudik dari satu ke lain UPT lokasi riset, membuat aku menjadi akrab dengan motor Binter milik Mas Heri dan jalan-jalan penghubung antar UPT.  Sedemikian akrabnya sehingga aku menjadi lalai pada suatu ketika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun