Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ulat Goreng, Solusi Stunting di Pedesaan

17 Oktober 2023   13:30 Diperbarui: 20 Oktober 2023   16:06 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS.com)

"Gara-gara ulat goreng, anak kota terheran-heran sementara anak desa bertanya-tanya."

Semua gara-gara ulat turi goreng yang viral. Itu lauk makan siang Andik, siswa SD Meguri V, Margomulyo Bojonegoro. Fotonya dibagikan Pak Jumangin, wali kelasnya, yang terheran-heran melihat muridnya makan lauk ulat turi goreng.

Viral, dunia maya riuh. Anak kota terheran-heran: "Emang boleh makan ulat, gitu?" Sebaliknya anak desa bertanya-tanya: "Emang boleh heran, gitu?"

Itu cermin miskinnya pengetahuan anak kota tentang makanan berprotein tinggi. Tahunya karbo, karbo, dan karbo lagi. Tiada hari tanpa fast food.

Aku teringat pengalaman masa kanak-kanak tahun 1960-an di Tanah Batak sana. Pengalaman makan sajian alam. Hewan, buah-buahan, daun-daunan, dan akar-akaran. 

Ulat enau adalah salah satu yang ternikmat. Selain kumbang aren, kumbang pisang, jangkrik, belalang, orong-orong, laron, capung, dan larva capung.

Orang Batak menyebut ulat enau itu hudi atau bangkudu. Ada satu baris dalam lagu Na Hinali Bangkudu gubahan Nahum Situmorang yang menjelaskan cara mendapatkannya: Na hinali bangkudu da sian bona ni bagot. Artinya: Ulat enau digali dari batang aren.

Ya, aku dan teman-teman sekampung dulu mencari ulat enau di dalam batang enau yang sudah tumbang dan membusuk. Caranya, batang enau itu dibelah. Nah, ketemulah ulat-ulat putih gemuk di dalamnya. Kami petikilah itu ulat. Lalu ditusuki dengan lidi enau, sebelum kemudian dipanggang di atas bara api. Jadilah sate ulat enau.

Rasanya? Hmm, nikmat tiada dua. Gurih sekali. Sensasi nimat cairan putih hangat di dalam ulat itu sudah dilupakan.

Sebenarnya bukan hanya ulat enau. Sejatinya ulat itu adalah larva kumbang enau. Nah, kalau kebetulan mendapat kumbang, aku dan teman-teman juga memanggangnya untuk dimakan. Rasanya? Hmm, mirip-mirip rasa daging udang, sepertinya.

Jadi saat membaca berita laut ulat turi Andik itu, aku tak heran sama sekali. Justru aku bertanya-tanya, sekudet apa anak-anak kota itu sehingga tak tahu bahwa ulat turi, ulat enau, ulat kelapa, dan ulat sagu itu bisa dan biasa dimakan?

Ulat turi goreng, lauk makan siang Andik, siswa SD Meguri V Bojonegoro (Foto: radarbojonegoro/jawapos.com)
Ulat turi goreng, lauk makan siang Andik, siswa SD Meguri V Bojonegoro (Foto: radarbojonegoro/jawapos.com)

***

Ulat turi itu tergolong langka, susah diperoleh. Jauh lebih mudah mendapatkan ulat enau, kelapa, dan sagu -- tiga jenis ulat yang sama saja.

Disebut ulat turi karena dia hidup di dalam lubang pada batang bawah pohon turi tua. Pencari ulat turi harus jeli melihat adanya lubang pada batang pohon. Kalau sudah ketemu, lubang dibuka menggunakan golok. Nah, di dalamnya mesti ketemu ulat turi warna putih bersih. Kalau lagi mujur, bisa dapat ukuran besar, misalnya 10 cm.

Seperti uat enau, kelapa dan sagu, ulat turi biasa dikonsumsi setelah dipanggang atau digoreng. Kalau mau lebih nikmat, bisa juga dipepes. Kalau tak sabaran, ya, langsung dimakan hidup-hidup juga boleh. Tega?

Dulu aku tahunya ulat enau itu enak. Begitu saja. Tak pahamlah soal kandungan gizinya yang ternyata "wow". 

Aku asumsikan kandungan nutrisi ulat turi itu samalah dengan ulat sagu, kelapa, atau enau. Hasil analisis kandungan gizinya begini. Per 100 gram mengandung nutrisi protein 5.8 gram, lemak 21.6 gram, karbohidrat 5.8 gram, dan serat 2.8 gram. Ada kandungan mineral juga: kalsium, fosfor, zinc, besi, natrium, kalium, tembaga, vitamin B12, thiamin, niacin, vitamin E (tokoferol), dan asam lemak omega (3, 6, 9). [1]

Bayangkan betapa lengkapnya kandungan gizi dan mineral dalam tubuh ulat turi atau ulat sagu, kelapa dan enau itu. Itu bukti betapa hebatnya pengetahuan lokal orang desa tentang sumber-sumber nutrisi dan mineral bermutu tinggi di alam sekitar. 

Ulat sebagai bahan makanan memang bukan hal baru bagi komunitas-komunitas berbagai etnis di pedesaan nusantara. Ulat sagu misalnya jamak sebagai bahan pangan di Maluku dan Papua. Sagu di sana bukan hanya sumber bahan pangan berupa tepung sagu. Tapi juga sumber ulat sagu, bahan makanan protein tinggi.

Menurut Dr.Ir. Annis Catur Adi, MS, ahli gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair, karena kandungan nutrisi dan mineralnya tinggi maka ulat (turi/sagu/kelapa/enau) baik untuk dikonsumsi anak-anak dalam usia tumbuh-kembang. Ulat itu bagus untuk pencegahan stunting, bila dikonsumsi oleh para ibu hamil dan anak balita. [2]

Dikatakan begitu karena penyebab stunting antara lain adalah kekurangan asupan protein, mineral zinc, dan zat besi pada anak sejak dalam kandungan sampai usia balita. Itu artinya ibunya juga kekurangan zat nutrisi dan mineral yang sama dalam jangka panjang.

Kalau begitu, ulat sagu/enau/kelapa/turi cocok kalilah menjadi salah satu solusi stunting, terutama di daerah pedesaan. Galakkan saja budaya makan ulat goreng, panggang, dan pepes di kalangan ibu muda dan anak-anak balita di daerah rawan pangan dan gizi. Termasuk membiasakan makan ulat goreng atau sate ulat gratis bagi anak-anak SD untuk perbaikan gizi jangka panjang.

Nah, yang terakhir ini cocok menjadi bahan kampanye bagi siapa saja calon presiden RI 2024 yang berencana menyediakan makan siang gratis untuk anak sekolah. Itu keren!

***

Ini bukan saran candaan. Serius. Ulat sagu/enau/kelapa/turi itu adalah makanan bernutrisi tinggi. Itu termasuk dalam "pangan serangga", jenis pangan sumber nutrisi dan mineral di masa depan. Serangga itu alternatif sumber protein, selain telur, ikan, dan daging.

Jika pemerintah serius mengatasi masalah stunting, maka bahan pangan ulat sangat layak dikembangkan. Pemerintah bisa mendorong pengembangan peternakan ulat sagu/enau/kelapa/turi secara organik di daerah pedesaan. Tentu dibarengi dengan pengembangan kebun komoditas rumah ulat tersebut.

Bahkan mungkin juga bisa dikembangkan peternakan ulat modern. Ulat-ulat itu dikembangbiakkan dengan cara kloning, sehingga panen ulat tak harus menunggu proses metamorfosis kumbang lagi. Ini perlu investasi besar, tentu saja. Tapi kalau pasarnya dijamin dengan kebijakan dan program pemerintah, investasi pasti mengalir.

Pada akhirnya, aku pikir kita semua, khususnya para bacapres, perlu berterimakasih kepada Andik dan empat ekor ulat turi gorengnya. Dia telah mengingatkan kita tentang ulat, sumber nutrisi dan mineral yang nyaris dilupakan atau, jika ingat, dilihat dengan mimik jijik. 

Pesan Andik sederhana saja. Kalau bicara kedaulatan pangan, jangan bicara tentang beras, ikan, telur, dan daging saja. Tapi kembangkanlah juga potensi ulat sebagai pangan super di masa depan. 

Bikinlah program nasionsl "Ayo Makan Ulat", atau "Gerakan Nasional Makan Ulat", atau apalah yang ulat-ulatan.

Sebab bukankah negeri kita ini kaya akan ulat? (eFTe)

***

Catatan Kaki:

[1] "Apa Saja Kandungan dalam Ulat Turi, Apakah Bisa Dimakan?", tirto.id, 16/10/2023.

[2] "Ahli Gizi Unair Sebutkan Manfaat Ulat Bagi Tumbuh Kembang Anak", detik.com, 13/10/2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun