Reog adalah Ponorogo dan Ponorogo adalah reog.
Tidak ada komunitas Jawa dengan karakter budaya yang begitu distingtif seperti orang Jawa Ponorogo. Â Budaya reog telah memberi warna budaya khas dan kuat pada masyarakat Ponorogo.
Mungkin hanya orang Jawa Madura yang bisa menyamai kekhasan itu dengan budaya caroknya.  Tapi hukum positif kemudian menetapkan carok sebagai tindakan kriminal.  Akibatnya budaya khas Madura itu mengalami pemudaran dari masa  ke masa.
Beda halnya dengan reog Ponorogo. Â Budaya reog justru semakin berkembang di sana. Bahkan menjadi identitas kota dan kabupaten. Ponorogo mengidentifikasi diri sebagai "Kota Reog".
Tapi pada saat bersamaan, kota yang sama juga mengidentifikasi diri sebagai "Kota Santri". Â Merujuk pada padatnya populasi pesantren dan santri di kota dan kabupaten itu.
Maka Ponorogo kini adalah "Kota Reog" dan "Kota Santri" sekaligus. Â Menandakan terbangunnya harmoni antara budaya (reog) dan agama (Islam) dalam kehidupan masyarakat Ponorogo.
Banyak "kota santri" di Jawa. Â Mulai dari Serang, Sukabumi, Cianjur, Â Cirebon, Tasikmalaya, Pekalongan, Kendal, Kudus, Kebumen, Tuban, Jombang, Kediri, Situbondo, Pasuruan, Jember, Â Gresik, dan Ponorogo sendiri. Tapi hanya Ponorogo yang menyandingkan "santri" (agama) dan "reog" (budaya) sebagai identitas sosialnya.Â
Fakta itu menuntun pada suatu hipotesis bahwa padepokan (budaya reog) dan pesantren (agama Islam) telah bersinergi membentuk karakter khas orang Jawa Ponorogo. Â Ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.
Padepokan dan Pesantren
Sebelum kyai dan pesantrennya hadir di Ponorogo, warok dan padepokan reognya sudah eksis di sana.
Cikal-bakal padepokan reog terbentuk pada era Kerajaan Majapahit di abad ke-15. Menurut satu versi sejarah lokal, seni reog dikreasi oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam, seorang pujangga Majapahit yang menyingkir ke Ponorogo.