Hanya ada dua kompasianer yang kutahu cerpennya kerap Head Line (HL) di Kompasiana. Ponakan murid Mas S. Aji yang senantiasa sehat walafiat. Lalu Mas Indra Rahadian yang sudah pergi mendahului kita.
Cerpen Mas Aji itu khas produk pemikir radikal. Sarat kritik sosial yang tajam menghunjam pusat kesadaran. Dia seorang juru bicara kelas bawah yang ekspresif.
Cerpen-cerpen almarhum Indra tidak punya fokus khas. Kadang soal cinta, kadang masalah orang-orang bawah, lain waktu soal cinta dan perang. Aku pikir-pikir, cerpen-cerpen Indra itu bicara tentang cinta, tapi dalam artikulasinya yang berkelas, bukan picisan.Â
Apakah tak ada kompasianer cerpenis yang lain? Ada. Daeng Khrisna Pabichara dan Ayah Tuah. Hanya saja Daeng Khrisna sedang bertapa sehingga tak sopan bicara tentang dia. Akan halnya Uda Ayah, ah, sudahlah. Kami punya sengketa sehingga menyebut namanya saja bisa memicu pertumpahan ide.
Akan halnya aku, Felix Tani, jelas bukan seorang cerpenis. Aku hanya seorang penggemar antara lain Leo Tolstoy dan Anton Chekov pada suatu masa dan selalu bertanya-tanya, "Apa gerangan makanan mereka sehingga bisa menulis cerpen-cerpen yang meringkus perhatianku".Â
Di Kompasiana, seingatku, aku baru menulis tiga cerpen. Dua tentang horor, satu tentang teror (tikus). Ketiga cerpen itu blas ora mutu. Khas karya pra-pemula. Bayangkan, sudah pemula, pra pula.
Jadi sudah terang alasannya mengapa cerpenku tak pernah Head Line di Kompasiana, bukan?
Apakah aku menyerah? Lho, emangnye gue berantem sama elo? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H