Pertama, raja bondar. Ini adalah kelembagaan pengairan sawah. Raja Bondar menunjuk pada fungsi pengelolaan sumber air irigasi dan pembagiannya secara adil ke seluruh areal sawah milik warga huta.
Kedua, mamola pinang. Ini suatu kelembagaan penyakapan sawah. Jika ada warga yang luasan sawahnya terlalu sempit, maka dia dimungkinkan mamola pinang kepada pemilik sawah luas. Mamola pinang itu serupa bagi hasil 50 : 50, persis pinang dibelah dua, setelah dikukrangi biaya produksi.
Ketiga, marsiadapari. Ini adalah kelembagaan pertukaran tenaga, yaitu tolong-menolong atau sambatan dalam proses pengolahan sawah mulai dari pencangkulan, penanaman, penyiangan, sampai panenan. Ini adalah cara konsolidasi tenaga kerja untuk menjamin pengelolaan sawah berlangsung secara tepat waktu.
Dengan ekologi budaya sawah, maka sawah menjadi ukuran kemakmuran bagi orang Batak Toba. Orang makmur adalah parhauma na bidang, pemilik sawah luas. Sebaliknya orang miskin adalah parhauma sapartataringan, pemilik sawah seluas pertapakan tungku.
***
Sekarang ini Kawasan Danau Toba sedang dikembangkan menjadi destinasi wisata. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah inti budaya sawah Batak Toba akan disubordinasikan pada pada pariwisata?Â
Orang Batak Toba sejak abad ke-11 tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat petani sawah lembah. Inti budayanya adalah sawah, bukan wisata. Jika sekarang ada pengembangan relung wisata, maka hendaknya itu bukan transformasi dari persawahan ke pariwisata.Â
Pilihan bijak adalah menempatkan sawah dan wisata pada posisi setara. Interaksi antara keduanya lalu didisain sebagai pola sinergi yang saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.
Semoga demikian Horas! (eFTe)