Pada akhirnya aku tiba pada satu kesimpulan bahwa, seperti orang Jawa, ekologi budaya Batak Toba adalah persawahan. Inti budayanya adalah sawah beririgasi. Artinya nilai budaya dan struktur sosial Batak Toba berpusat pada agroekologi sawah.
***
Terkait nilai budaya, orang Batak Toba memaknai hauma atau sawah sebagai ulos na so ra buruk, kain tak kunjung lapuk.Â
Ulos dalam budaya Batak Toba dimaknai terutama sebagai sipalas tondi, penghangat jiwa. Mangulosi, menyampirkan ulos, ke tubuh seseorang berarti melimpahi jiwanya dengan kehangatan (spritual). Jiwa yang hangat menjadi pangkal kesehatan dan kesejahteraan.
Ulos, kain tenun khas Batak, bisa lapuk. Walau berkah kehangatan jiwa yang dihantar melaluinya tak akan lapuk.Â
Sebaliknya hauma, sawah, adalah ulos yang tak kunjung lapuk. Sebab secara fisik sebidang sawah tak akan lapuk atau membusuk.
Hauma itu adalah sumber "kehangatan jiwa dan raga". Dengan kata lain sumber kehidupan. Atau hauma secara spesifik adalah sumber pangan boras, beras yang memberi energi (kehangatan) bagi jiwa dan raga.
Karena itu juga dalam masyarakat Batak Toba beras dimaknai sebagai si pir ni tondi, penguat jiwa (roh). Jika hula-hula (pemberi istri) datang memberkati boru (penerima istri), maka hula-hula itu akan menaburkan boras si pir ni tondi di atas kepala borunya.
Pewarisan sawah dari orangtua kepada anak dalam masyarakat Batak Toba dengan demikian dimaknai sebagai pemberian ulos na sora buruk, sumber hidup yang kunjung lapuk.Â
Karena menganut sistem patriarkat, warisan sawah turun kepada anak laki-laki. Namun budaya Batak Toba tetap memberi ruang pemberian sebidang sawah kepada anak perempuan. Hal itu disebut hauma pauseang, sebidang sawah tanda kasih sayang. Di situ sawah dimaknai sebagai simbol kasih.