Tujuh orang pemotor tewas akibat berkendara melawan arah sehingga menabrak truk pengangkut hebel di Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada Selasa 22 Agustus 2023. Demikian sari berita viral tentang sebuah kecelakaan maut akhir bulan lalu.
Kabar kecelakaan itu mengingatkanku pada buku kecil Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974) karangan antropolog Prof. Koentjaraningrat. Buku itu terbit pertama kali nyaris setengah abad yang lalu. Tapi sejumlah tesis yang disampaikan penulisnya ternyata masih relevan sampai hari ini.
Prof. Koentjaraningrat dalam buku itu memaparkan antara lain kaitan mentalitas orang Indonesia dan pembangunan. Katanya ada dua pola mentalitas yaitu “mendukung” dan “tak mendukung” pembangunan nasional.
Khusus pola mentalitas yang tak mendukung pembangunan, salah satunya disebutkan "mentalitas menerabas". Atau, untuk ringkasnya, sebut saja "mental terabas".
"Mental terabas" adalah prodisposisi atau kecenderungan sikap dan tindakan seseorang mengambil "jalan pintas", dalam arti negatif atau melanggar norma untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya.
Seseorang yang bermental terabas cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sebab pikiran dan tindakannya memang cenderung menyimpang dari norma sosial (kebisaan, tata-laku, adat/hukum) yang berlaku.
Di negeri ini, fenomena mental terabas itu jamak terlihat jalan raya. Sebab jalan raya adalah panggung pertunjukan mentalitas para penggunanya. Baik itu pejalan kaki maupun pengendara ragam jenis kendaraan.
Salah satu manifestasi mental terabas di jalan raya adalah fenomena berkendara melawan arah. Pelakunya terutama adalah para pemotor. Inilah soal yang hendak dibahas di sini.
Kebiasaan demi Efisiensi
Fenomena pemotor berkendara melawan arah dengan mudah disaksikan di jalan-jalan sekitar Jakarta. Di Jakarta Selatan saja, menurut identifikasi Polres Metro Jaksel, terdapat 31 titik rawan pemotor melawan arah.
Lokasi kejadian tabrakan premotor dan truk di Lenteng Agung itu adalah salah satunya.