Tidak setiap orang tumbuh menjadi pelaku utama sejarah dunia.Â
Itu bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sederhana berikut ini.
Hanya ada seorang Leo Szilard yang menemukan fakta reaksi berantai, pecahnya inti atom akibat tembakan berulang dengan peluru partikel neutron.
Lalu hanya ada seorang Albert Einstein yang merumuskan fakta reaksi berantai itu menjadi teori relativitas e = mc2.
Akhirnya hanya ada seorang Robert Oppenheimer yang memimpin Proyek Manhattan AS dan, berdasar teori relativitas Einstein, menciptakan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.
Szilard, Einsten, dan Oppenheimer adalah tiga orang, minoritas, Â yang telah mengubah sejarah dunia, sejarah yang dialami oleh sekitar 2.5 miliar, mayoritas, warga dunia tahun 1945.
Di dunia tulis-menulis atau literasi juga begitu.Â
Hanya ada seorang Niccolo Machiavelli. Dia menulis Il Principe yang menjadi "kitab suci" otoritarianisme, penegakan kekuasan yang menghalalkan segala cara.
Juga hanya ada seorang Adam Smith. Dia menulis The Wealth of Nation yang mendasari kapitalisme/liberallisme.
Lalu hanya ada seorang Karl Marx. Dia menulis Das Kapital yang mendasari sosialisme/komunisme.
Demikianlah dunia terbelah menjadi kubu kapitalisme dan sosialisme hingga hari ini. Pada keduanya, otoritarianisme bisa saja bercokol.
Kemudian hari ada seorang Soekarno. Dia tak ingin bangsa dan negaranya, Indonesia, masuk ke dalam blok sosialisme ataupun kapitalisme.Â
Lalu dia menulis dan membacakan Pidato 1 Juni 1945: Lahirnya Pancasila. Jadilah Indonesia negara Pancasila, bukan sosialisme bukan pula kapitalisme. Atau, kata Gus Dur, Indonesia adalah negara yang "bukan-bukan".
Machiavelli, Smith, Marx, dan Soekarno adalah empat orang, minoritas, yang menulis isu besar. Isu yang mengubah negeri dan dunia, menentukan relasi-relasi kehidupan bagi 8 miliar umat manusia kini.
***
Szilard, Einstein, dan Oppenheimer adalah ilmuwan kelas dunia, orang-orang besar yang karyanya mengubah dunia.
Sungguhpun demikian, mayoritas warga dunia ini tahu diri, sadar mustahil bisa menyamai reputasi mereka.
Dekade demi dekada telah berlalu sejak Einstein meninggal dunia tahun 1955. Selama itu hanya ada satu orang yang bereputasi sejajar dengannya yaitu Stephen Hawking. Dia telah berpulang juga tahun 2018 lalu.
Demikian pula di dunia literasi. Sejauh ini belum ada yang menyamai reputasi Machiavelli, Smith, dan Marx. Banyak pengritik yang mampu menunjukkan kelemahan tulisan mereka. Tapi tak seorangpun yang mampu menyamai reputasi mereka sebagai "Bapak Pemikiran".
Aku menyinggung nama-nama orang besar di atas bukan untuk membuat nyalimu ciut. Sebaliknya aku hendak memberi semangat. Supaya kamu tidak rendah diri hanya karena tak mampu memikirkan dan menuliskan hal-hal besar yang mengubah kota, negeri, dan dunia.
Hampir seluruh warga dunia ini, mungkin 99 persen, masuk ke dalam  kategori manusia yang sehari-hari hanya memikirkan dan melakukan hal-hal kecil. Hal-hal yang tidak akan meruntuhkan bangsa dan negara jika kita berhenti memikirkan dan melakukannya.
Tapi, sebaliknya, kita atau keluarga kita mungkin akan punah jika kita berhenti memikirkan dan melakukan hal-hal yang remeh bagi dunia itu.Â
Remeh, benar-benar remeh temeh. Tapi hal-hal remeh itulah kekayaan mayoritas warga bumi ini.
Karena mayoritas dari kita hanya punya hal-hal remeh maka, bila kita ingin berbagi dan sebaiknya begitu, kita juga hanya bisa membagikan hal-hal remeh.Â
Namun bila kita benar-benar melakukannya, maka kita sejatinya telah membagikan sesuatu yang "besar" dari milik kita yang "kecil".
Jadi jika bicara dalam konteks literasi, maka tak ada alasan menolak untuk menuliskan pikiran dan pengalaman remeh-temeh. Jangan pernah rendah diri berbagi pada sesama, kendati itu hanya berbagi hal-hal kecil.
Kita tak perlu ngotot misalnya menulis bagaimana nasib negeri ini, Indonesia, tahun 2050. Jika kita tak punya kompetensi tentang teori-teori pembangunan dan sejarah pembangunan negeri ini.Â
Biarkanlah minoritas ahli melakukan itu. Kita jadi pembaca saja. Itupun kalau paham soal yang dibahas.
Kita, bagian dari mayoritas warga bumi ini, cukuplah menuliskan hal-hal yang remeh bagi dunia. Tidak perlu rendah diri atau malu melakukannya. Sebab melakukan hal itu adalah sebuah tindakan jujur.
Jangan pernah minder atau malu untuk berbuat jujur.Â
Aku sudah melakukannya.Â
Ketimbang menulis solusi polusi Jakarta, aku memilih menulis tentang kesebalanku karena harus memotong pohon di pekarangan demi keamanan kabel udara yang centang-perenang.
Ketimbang menulis tentang dampak buah impor terhadap nasib petani buah lokal, aku lebih memilih untuk menulis pedagang buah yang ngeyel bilang suka "yang manis walau tak mulus". Dia sedang membela jambu air dagangannya yang sudah babak-belur entah karena apa.Â
Ketimbang menulis potensi Indonesia sebagai produsen terbesar ikan dunia, aku memilih menulis tentang ibu tua pedagang ikan asin yang bangga mengatakan dagangannya ikan segar semua.
Itu hanya segelintir contoh pikiran dan pengalaman remeh yang telah kuanggit dan kuagihkan kepada khalayak. Syukur kepada Tuhan, ada saja yang sudi membaca dan menanggapinya. Â
***
Aku telah menuliskan dan membagikan pikiran receh ini di sini karena, aku berpikir, kita mayoritas warga dunia ini harus menegakkan demokrasi di dunia literasi.Â
Maksudku, dunia literasi bukan hanya monopoli minoritas penulis besar dan hebat. Kita juga perlu menuliskan dan membagikan pikiran dan pengalaman remeh kita, untuk mencegah tirani minoritas penulis hebat.
Dengan menuliskan hal-hal yang remeh bagi dunia, kita telah menegakkan demokrasi dalam jagad literasi, sekaligus mencegah tumbuhnya oligarki literasi.
Di situ letak pentingnya kita berani menuliskan hal-hal yang remeh bagi dunia. Setidaknya begitulah pendapatku. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H