Kupikir kemarau telah usai. Sebab hujan menyiram Jakarta tadi malam. Hingga kuanggit sebuah puisi selamat datang untuknya.
Kusangka alam telah bermurah. Hingga kodok selokan bersukaria, lelaki tua di Gang Sapi tersenyum, dan bernyanyi bersama menghapus kemarau.
Prank, prank, prank! Ternyata hanya prank! Hujan kemarin bukan kehendak alam. Tapi langit Jakarta telah disirami garam, perih sampai menangis. Air matanya turun ke bumi. Merupa hujan buatan.
Terlanjur sudah kutulis puisi selamat tinggal kemarau, selamat datang hujan. Benar belaka kata tetua, "Terlalu girang akan membikinmu dungu."
Puisi kemarin telah kutulis dari dunguku. Haruskah kuhapus? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H