Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dokter Richard Lee, Farel Aditya, dan Budaya Kemiskinan

18 Agustus 2023   07:55 Diperbarui: 18 Agustus 2023   15:47 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beda kerja keras antara orang susah dan orang sukses. Kerja keras orang susah: pulang sekolah menyapu, mencuci, dan dan kerja fisik lainnya. Kerja keras orang sukses: pulang sekolah ikut les dan giat belajar. -dr. Richard Lee

Ujaran dr. Richard Lee di atas adalah pembandingan etos kerja orang susah dan orang sukses. Dia sedang bicara tentang Farel Aditya, anak SMA swasta  dari Medan Sumatera Utara yang diangkatnya "adik", lalu dipindah bersekolah ke satu SMA swasta terbaik di Palembang, Sumatera Selatan.

Farel itu, sebagaimana pengakuannya dalam kanal siniar dr. Richard, adalah "anak susah", korban broken home dari kakek-nenek sampai ayah-ibu. Kesannya, dia semacam nobody's child yang dirawat neneknya sejak bayi.

Trenyuh atas kisah sedih itu, dr. Richard langsung mengangkat Farel jadi "adik"nya. Lalu memfasilitasinya pindah sekolah ke SMA Xaverius 1 Palembang. Menyediakan kamar kost, biaya sekolah, perlengkapan sekolah, motor, uang saku Rp 3 juta/bulan, dan santunan untuk neneknya Rp 2 juta/bulan. Juga melunasi semua utang Farel di Medan.

Target dr. Richard, lulus SMA, Farel tembus masuk Fakultas Kedokteran UI, dan lulus menjadi dokter hebat. Sebab jika ingin kaya sekaligus mulia, kata dr. Richard, jadilah dokter. Jangan jadi guru, seperti maunya Farel, sebab guru itu tidak bisa kaya walaupun mulia. 

Farel setuju, bersemangat juga. Dokter Richard senang.

Tapi terlalu jauhlah ekspektasi dari realita. Baru tiga hari Farel masuk sekolah di SMA Xaverius, dia sudah langsung minggat, pulang ke Medan. Alasannya stres karena tak mampu mengikuti pelajaran, teman sekelasnya tak koperatif, dan kesepian sendiri di kamar kost.

Keputusan Farel sudah final, one way ticket. Dokter Richard kecewa berat. Itikat baiknya dicampakkan Farel begitu saja.

Kasus dr. Richard versus Farel ini sontak viral menasional. Respon warganet +62 sudah bisa ditebak. Ɓoleh dikata, hampir semua mencela dan menghakimi Farel sebagai orang yang gak tau diuntung, gak tau terimakasih, dan lain-lain label yang buruk-buruk. 

Tapi ketimbang mengecam Farel, lebih baik mencari tahu apa penyebab Farel membuang kesempatan menjadi dokter itu. Konsep budaya kemiskinan dari antropolog Oscar Lewis (1959)mungkin dapat membantu penjelasan. [1]

***

Budaya kemiskinan, demikian anteopolog Oscar Lewis (1959), pola adaptasi orang miskin terhadap marginalitasnya, melalui pembentukan nilai-nilai sosial atau pola pikir (mind set) yang melanggengkan kemiskinan lintas generasi.

Misalnya, orang miskin menilai rendah pendidikan karena hal itu tidak langsung mengentaskannya dari marginalitas. Sebaliknya justru semakin memiskinkan karena menguras dana dan membatasi tenaga kerja keluarga.

Orang-orang miskin atau marginal hidup dalam suatu pola rutinitas yang mereka bentuk sendiri sebagai strategi survival. Menarik mereka dari pola itu, dan memindahkannya ke pola rutinitas orang kaya, tidak saja akan membuat mereka stres. Tapi juga menimbulkan resistensi, penolakan, antara lain dengan cara melarikan diri, kembali ke lingkungan asal atau aslinya. 

Farel diduga telah memiliki semacam "zona nyaman" miskin/marginal sendiri di Medan. Katakanlah itu semacam komunitas sosial dengan nilai-nilai  yang akomodatif terhadap kondisi  kemiskinan dan marginalitasnya. 

Dalam komunitas itu terjadi relasi-relasi sosial survival, saling memperhatikan, dan saling dukung satu sama lain. Relasi-relasi itu bersifat reproduktif, pengulangan hal-hal yang sama tapi bikin nyaman. Itu bukan relasi-relasi yang bersifat produktif, yang bisa mengangkat seseorang dari kondisi kemiskinan atau marginalitasnya. 

Namun, era medsos dapat dimanfaatkan seseorang yang  marginal sebagai jalan terabas untuk mengangkat status di dunia maya. Itulah yang dilakukan Farel melalui akun TikTok-nya. Dia menjual dirinya dengan cara berulang-ulang membagikan kisah sengsara hidupnya ke ruang publik. 

Kisah dirinya sejak balita diasuh neneknya dalam kemiskinan. Tersebab  bapaknya masuk penjara, ibunya pergi kawin lagi, dan kakeknya juga pergi kawin lagi. Tak ada sokongan keuangan dari ayah, ibu, dan kakeknya. Dia harus kerja mocok-mocok, serabutan, sambil sekolah untuk bisa bertahan dalam kemiskinan.

Konten TikTok yang mengharu-biru dan meraup banyak views semacam itu memberi manfaat ganda bagi Farel. Sejumlah produsen meminta dia meng-endorse produk lewat akun TikTok-nya dan itu berarti uang masuk. Lalu, dan ini penting, dia menjadi viral sebagai artis atau selebritas TikTok dan itu mengangkat status dan posisi tawarnya di komunitas dan khalayak luas. 

Viralitas diri, bagaimanapun juga, adalah modal sosial yang dapat dikapitalisasi untuk menghasilkan uang. Bahkan sekalipun itu viral karena konten yang tak bermutu, semisal goyang bokong, jilat eskrim, dan berteriak "Dungu!".

Boleh dibilang dr. Richard sebenarnya mencabut seketika Farel dari zona nyamannya, lingkungan komunitas marjinalnya, lalu menancapkannya begitu saja di "zona baru", komunitas "Xaverius" yang menganut nilai-nilai individualitas, kompetisi, kerja keras otak, dan produktivitas. 

Sudah bisa ditebak, Farel yang terbiasa dengan komunalitas, persekutuan, kerja keras fisik, dan reproduktivitas tidak akan nyaman di lingkungan SMA Xaverius. Cepat atau lambat dia pasti akan membebaskan diri (escaping) dari lingkungan itu.

Di lain pihak tarikan komunitas asal (asli) Farel terlalu kuat. Alasan-alasan afektif,  dan mungkin juga altruis, menyebabkan Farel tak bisa menolak untuk kembali ke asal. Lalu dengan cepat, pada hari keempat di Palembang, dia langsung kembali ke habitat sosialnya di Medan.

***

Cengkeraman nilai-nilai dan relasi-relasi sosial kemiskinan atau marginalitas membuat seseorang sulit keluar dari kondisi dan status kemiskinan atau marginalitasnya. 

Mencabut individu marginal dari komunitas nyamannya, lalu mencemplungkannya ke dalam sebuah lingkungan elite, bisa saja serupa "membunuh" dirinya. Mungkin ada minoritas yang sukses menyintas, tapi mayoritas gagal dan "melarikan diri". Farel rupanya tergolong kelompok mayoritas ini.

Jadi, jika Farel ditempatkan dalam konteks budaya kemiskinan/marginalitas, maka tak adil rasanya menghakiminya sebagai orang tak tahu diri, tak tahu diuntung, ber-attitude buruk. Sejarah hidupnya telah menempatkannya dalam suatu zona sosial yang memerangkap. 

Jika ingin mengangkat status sosialnya, maka dia harus dikeluarkan dulu secara gradual dari zona komunitas marjinalnya. Perlu semacam aklimatisasi sosial, khususnya adopsi nilai-nilai baru, untuk memastikan kesiapannya masuk dalam komunitas elite seperti SMA Xaverius Palembang. 

Dari sudut pandang relasi kuasa, inisiatif dan keputusan Farel dipindah ke Palembang itu terbilang sepihak. Farel berada pada posisi terlalu "lemah" untuk menolak tawaran (keputusan) dr. Richard yang berada pada posisi terlalu "kuat". Farel tidak punya kesempatan untuk menimbang kesiapan dirinya.

Saya pikir itulah yang dilupakan dr. Richard saat dia secara spontan, atau impulsif, terdorong oleh belas kasihan, mengangkat Farel jadi adiknya. Lalu secara cepat dia memfasilitasi Farel  pindah sekolah ke SMA Xaverius 1 Palembang, demi mencapai target masuk dan lulus Fakultas Kedokteran UI.

Sebuah pertolongan akan berbuah baik jika dan hanya jika diberikan kepada orang yang siap menerima pertolongan. (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] Oscar Lewis, Five Families: Mexican case studies in the culture of poverty  Basic Books, 1959.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun