Tiga hal ini perlu diketahui untuk mengenal orang Batak Toba: Dalihan Na Tolu, Huta, dan Gondang Bolon.
Batak Toba itu salah satu puak etnis Batak yang mendiami Dataran Tinggi Toba dan Samosir. Di utaranya berdiam puak Simalungun dan Karo, sementara di barat ada puak Pakpak. Lalu di selatan ada puak Angkola dan Mandailing.
Sejarah genealogis versi Batak Toba berasumsi semua puak Batak berpangkal pada puak Toba. Ini asumsi etnosentris yang ditolak oleh Karo di utara dan Mandailing di selatan. Dua puak ini cenderung mengklaim bukan Batak karena punya nenek-moyang yang berbeda.
Apakah enam puak Batak itu benar punya nenek-moyang yang sama, atau sebaliknya berbeda-beda, biarlah sains yang kelak membuktikannya. Saya tak hendak masuk lebih jauh ke sana.
Fokus tulisan ini adalah sosiologi pedesaan puak Batak Toba. Puak yang mendiami Dataran Tinggi Toba. Wilayah yang kini meliputi kabupaten-kabupaten Samosir, Toba, Humbang-Hasundutan, dan Tapanuli Utara. (Lihat peta di bawah ini.)
Paparan ini juga sifatnya selintas saja, sekadar pengenalan "kulit" orang Batak Toba. Â Tentang struktur sosial, pola domisili atau pemukiman, dan gondang sebagai pemanggungan religinya. Konteks pedesaan -- yang lebih sederhana dibanding kota -- diambil di sini untuk memudahkan penggambaran.
Dalihan Na Tolu
Struktur sosial asli masyarakat Batak Toba itu berbasis genealogis. Ditarik ke atas, ke leluhur, orang Batak Toba itu terdiri dari dua belahan (moety) yaitu kelompok turunan Raja Ilontungon (Lontung) dan Raja Isumbaon (Sumba).
Kelompok Lontung terdiri dari marga-marga Sariburaja, Limbong, Sagala, dan Malau. Sariburaja secara khusus menurunkan marga-marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Juga menurunkan marga-marga Borbor antara lain Tanjung, Lubis, Pasaribu, Batubara, Harahap, dan Daulay.
Sedangkan kelompok Sumba terdiri dari marga-marga turunan Sorimangaraja. Terdiri dari rumpun-rumpun Sorbadijulu atau Naiambaton (Simbolon, Tamba, Munte, Saragi dan turunannya), Sorbadijae atau Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butarbutar), dan Sorbadibanua atau Naisuanon.
Rumpun marga Naisuanon itu paling besar variasi dan jumlahnya. Terdiri dari sub-rumpun Sibagotnipohan (Tampubolon, Silaen, Baringbing, Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, Simangunsong, Marpaung, Napitupulu/Pardede), Sipaettua (Pangaribuan, Hutapea, Hutahean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea), dan Silahisabungan (Sihaloho, Situngkir, Doloksaribu, Sinurat, Nadapdap, Tambunan).
Menurut sejarah genealogis Batak Toba, status belahan Sumba itu adalah boru, penerima istri terhadap belahan Lontung yang berstatus hula-hula, pemberi istri.Â
Naiambaton, Nairasaon, dan Naisuanon secara berturut-turut adalah istri-istri Surbadijulu, Sorbadijae, dan Sorbadibanua yang diambil dari belahan Lontung.
Itulah awal konstruksi struktur genealogis Dalihan Na Tolu (DNT), Tiga Kaki Tungku yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba sampai kini.  Hula-hula sebagai pihak pemberi istri, boru sebagai pihak penerima istri, dan dongan tubu sebagai kerabat segaris darah (patrilineal). Baik hula-hula maupun boru punya dongan tubu sendiri.
Perkawinan ideal orang Batak Toba pada mulanya adalah antara marga-marga belahan Sumba dan Lontung. Â Tapi kemudian terjadi juga dan dibolehkan perkawinan antar marga serumpun. Misalnya antara Panjaitan dan Marpaung dalam rumpun Sibagotnipohan. Atau antara Sitorus dan Manurung dalam rumpun Nairasaon.
Tentu ada pengecualian berdasar padan, perjanjian leluhur untuk rumpun marga tertentu. Misalnya antara marga-marga rumpun Naiambaton  -- yang menyebut diri Pomparan ni Raja Naiambaton (Parna, 48 marga) -- ada perjanjian tidak boleh saling menikah.Â
Struktur DNT dalam prakteknya bisa digambarkan dengan simulasi berikut. Poltak Sitorus menikahi Berta boru Sinaga. Maka Poltak dan keluarga besarnya menjadi boru bagi keluarga besar Berta.Â
Sedangkan keluarga besar Berta adalah hula-hula bagi keluarga besar Poltak. Dongan tubu bagi masing-masing keluarga besar itu adalah semua saudara laki-laki segaris darah, baik horisontal maupun vertikal.
Status Berta sendiri, karena terbawa pernikahan ke dalam keluarga Poltak (patrilokal), menjadi boru bagi keluarga besarnya. Atau, sebaliknya, keluarga besarnya menjadi hula-hula baginya.
Relasi sosial antara tiga unsur DNT itu diatur dengan suatu norma adat. Bunyinya, "Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru." Artinya, "Hormat kepada hula-hula, baik kepada dongan tubu, kasih kepada boru."
Penjelasannya begini. Hula-hula harus dihormati karena ialah sumber karunia bagi boru. Dongan tubu harus diperlakukan baik karena dialah sumber kekuatan sosial.  Boru harus dikasihi  karena dialah penolong utama bagi hula-hula.
Jika keluarga Poltak misalnya memusuhi hula-hula, dongan tubu, dan borunya, maka keluarganya akan terisolasi secara sosial di dalam komunitas DNT-nya. Artinya, tidak akan ada kerabat yang perduli pada keluarganya atau, lebih buruk lagi, dianggap tidak ada.
Huta
Huta, kampung, adalah satuan otonom terkecil domisili atau pemukiman orang Batak Toba. Sebagai wujud persatuan Batak, orang Batak kemudian membentuk federasi huta yang disebut horja, dan federasi horja yang disebut bius.
Sebuah bius dipimpin oleh seorang pendeta raja yang padanya turun sahala harajaon, karunia roh kekuasaan. Pendeta raja karena itu bersifat dinasti, turun-temurun.Â
Secara historis ada tiga bius utama dan pertama di Tanah Batak Toba. Bius Sianjurmulamula, sekarang di Kecamatan Sianjurmulamula Samosir, dengan pendeta raja Jonggimanaor (Limbong); Bius Baligeraja, sekarang di Kecamatan Balige Toba dengan pendeta raja Sorimangaraja (kemungkinan marga turunan Sibagotnipogan); Bius Urat, sekarang di Kecamatan Palipi Samosir, dengan pendeta raja Paltiraja (Sinaga).
Kendati bersatu dalam horja ataupun bius, huta pada dasarnya tetap otonom. Huta dibuka dan dipimpin oleh seorang marga raja, yang menjadi raja huta (patrilineal) secara turun-temurun. Pada seorang raja huta melekat wewenang pemerintahan, pengadilan, dan penguasaan tanah yang disebut golat, tanah milik marga raja.
Penghuni huta tentu saja bukan hanya kelompok marga raja. Lazim juga marga boru yang dulu diajak membuka huta, disebut boru ni huta, tinggal di situ.Â
Bahkan kepadanya lazim diberikan sebidang tanah untuk membuka huta sendiri. Penghuni lainnya adalah parripe, pendatang yang bukan bagian dari marga raja ataupun marga boru.
Sebuah huta lazimnya dibuka di suatu lembah, entah itu di sekitar pantai Danau Toba atau di kawasan yang lebih tinggi seperti Humbang dan Silindung. Pilihan lembah itu dimaksudkan untuk kepentingan membuka sawah. Sebab sebuah lembah lazim dialiri oleh sebuah sungai, sumber irigasi sawah.
Dengan demikian, orang Batak Toba dikenal sebagai komunitas pesawah lembah. Inti budayanya (cultural core) adalah sawah, seperti halnya orang Jawa. Itu sebabnya tahun 1910-an pemerintah kolonial Belanda mengajak sejumlah orang Batak Toba pindah ke daerah Simalungun untuk membuka sawah di sana.
Di luar sawah, ada juga mata pencaharian sekunder. Ada  porlak (kebun belakang rumah), darat (ladang, huma), harangan (hutan), dan tao (danau) untuk perikanan khusus di huta-huta pantai. Di sejumlah desa ada juga kerajinan tenun ulos dan anyaman (rotan dan mendong).
Penciri huta asli Batak Toba adalah pohon hariara (ara) di gerbang masuk. Aanakan hariara itu dulu ditanam untuk mengetahui apakah tempat itu layak atau tidak untuk huta. Kalau anakan hariara itu tetap hidup setelah tujuh hari, berarti boleh buka huta di situ. Kalau mati, berarti harus cari tempat lain.
Interaksi sosial antara warga satu dan lain huta terjadi sekali seminggu di onan, pasar mingguan. Di situ terjadi pertukaran barang antar warga, dulu barter sekarang jual-beli pakai uang.Â
Selain itu terjadi juga pertukaran informasi dan kirim-mengirim pesan antar warga huta yang berjauhan. Sekarang pertukaran informasi seperti itu bisa dilakukan juga di gereja.
Budaya merantau lelaki Batak Toba menyebabkan banyak huta asli kini lengang. Ada anekdot begini. Di huta sekarang  yang tersisa adalah para janda tua, babi, dan kuburan laki-laki. Itu krtitik pada lelaki Batak yang ogah kembali ke hutanya dari tanah rantau.
Gondang Bolon
Gondang Bolon sejatinya bukan kesenian melainkan ritual religi Batak Toba. Gondang Bolon adalah ritual doa pujian, syukur, dan permohonan kepada Mulajadi Na Bolon, Pencipta Yang Maha Besar.
Gondang Bolon lazim dipanggungkan pada upacara-upacara adat besar. Semisal perkawinan, kematian lansia, dan pesta panen. Pargonsi, kelompok pemain gondang (taganing/kendang, sarune/serunai, ogung/gong, hesek/kincring) adalah perantara doa dari panortor, orang yang berdoa dengan cara menari, kepada Mulajadi Na Bolon.Â
Dalam repertoar Gondang Bolon selalu ada bagian yang ditujukan kepada Mulajadi Nabolon, yaitu Mula-mula (pemberitahuan) dan Somba-somba (sembah) kepada Mulajadi Na Bolon.
Selain memanggungkan doa, komunikasi dengan Yang Maha Besar, Gondang Bolon juga memanggungkan relasi struktural antara tiga unsur DNT yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Pertama, dalam penyelenggaraan Gondang Bolon itu sendiri. Hula-hula dan dongan tubunya adalah suhut bolon, tuan rumah utama. Sedangkan boru menjadi parhobas, pelaksana teknis pesta (memasak, melayani tamu, menyiapkan perlengkapan acara, dan lain-lain).
Kedua, saat manortor diiringi musik gondang. Hula-hula dan borunya manortor dengan pola posisi dan gerak tangan yang berbeda. Saat keduanya berhadapan, kedua telapak tangan boru terkatup di depan dada sebagai sikap hormat (somba marhula-hula) dan atau telapak terbuka menadah  ke atas (memohon/menerima berkat).Â
Sementara kedua telapak tangan hula-hula terbuka mengarah ke boru, atau ditumpangkan pada pelipis boru, sebagai gerak memberi berkat. Kadang boru merespon dengan maniuk, mengelus dagu atau pipi hula-hula.
Begitulah, melalui Gondang Bolon orang Batak Toba memanggungkan religi aslinya, tentang relasi vertikalnya dengan Tuhan Yang Maha Besar, dan relasi horisontalnya dengan sesama unsur-unsur DNT.Â
Bisa dikatskan Gondang Bolon adalah persepsi dan ekspresi keberadaan orang Batak Toba.
Wasanakata
Demikianlah tiga hal ini perlu diketahui untuk mengenal orang Batak Toba.Â
Pertama, Dalihan Na Tolu untuk memahami struktur sosial asli masyarakat Batak Toba yaitu struktur genealogis.Â
Kedua, huta untuk memahami pola mukim dan kedudukan serta relasi sosial orang Batak Toba dalam kehidupan sosial-ekonomi sehari-hari.
Ketiga, Gondang Bolon untuk memahami lebih dalam religi asli Batak Toba, yaitu relasi vertikal orang Batak Toba dengan Tuhannya, dan relasi horisontal mereka dalam konteks Dalihan Na Tolu.Â
Saya tak akan bilang paparan selintas sosiologi pedesaan Batak Toba ini memadai untuk memahami masyarakat Batak Toba. Tidak, ini jauh dari memadai.
Tapi sekurangnya paparan ini bisalah menjelaskan secara garis besar tentang bagaimana yang disebut orang Batak Toba itu. Ya, mudah-mudahan saja begitu.
Horas! Horas! Horas! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H