Penciri huta asli Batak Toba adalah pohon hariara (ara) di gerbang masuk. Aanakan hariara itu dulu ditanam untuk mengetahui apakah tempat itu layak atau tidak untuk huta. Kalau anakan hariara itu tetap hidup setelah tujuh hari, berarti boleh buka huta di situ. Kalau mati, berarti harus cari tempat lain.
Interaksi sosial antara warga satu dan lain huta terjadi sekali seminggu di onan, pasar mingguan. Di situ terjadi pertukaran barang antar warga, dulu barter sekarang jual-beli pakai uang.Â
Selain itu terjadi juga pertukaran informasi dan kirim-mengirim pesan antar warga huta yang berjauhan. Sekarang pertukaran informasi seperti itu bisa dilakukan juga di gereja.
Budaya merantau lelaki Batak Toba menyebabkan banyak huta asli kini lengang. Ada anekdot begini. Di huta sekarang  yang tersisa adalah para janda tua, babi, dan kuburan laki-laki. Itu krtitik pada lelaki Batak yang ogah kembali ke hutanya dari tanah rantau.
Gondang Bolon
Gondang Bolon sejatinya bukan kesenian melainkan ritual religi Batak Toba. Gondang Bolon adalah ritual doa pujian, syukur, dan permohonan kepada Mulajadi Na Bolon, Pencipta Yang Maha Besar.
Gondang Bolon lazim dipanggungkan pada upacara-upacara adat besar. Semisal perkawinan, kematian lansia, dan pesta panen. Pargonsi, kelompok pemain gondang (taganing/kendang, sarune/serunai, ogung/gong, hesek/kincring) adalah perantara doa dari panortor, orang yang berdoa dengan cara menari, kepada Mulajadi Na Bolon.Â
Dalam repertoar Gondang Bolon selalu ada bagian yang ditujukan kepada Mulajadi Nabolon, yaitu Mula-mula (pemberitahuan) dan Somba-somba (sembah) kepada Mulajadi Na Bolon.
Selain memanggungkan doa, komunikasi dengan Yang Maha Besar, Gondang Bolon juga memanggungkan relasi struktural antara tiga unsur DNT yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Pertama, dalam penyelenggaraan Gondang Bolon itu sendiri. Hula-hula dan dongan tubunya adalah suhut bolon, tuan rumah utama. Sedangkan boru menjadi parhobas, pelaksana teknis pesta (memasak, melayani tamu, menyiapkan perlengkapan acara, dan lain-lain).
Kedua, saat manortor diiringi musik gondang. Hula-hula dan borunya manortor dengan pola posisi dan gerak tangan yang berbeda. Saat keduanya berhadapan, kedua telapak tangan boru terkatup di depan dada sebagai sikap hormat (somba marhula-hula) dan atau telapak terbuka menadah  ke atas (memohon/menerima berkat).Â
Sementara kedua telapak tangan hula-hula terbuka mengarah ke boru, atau ditumpangkan pada pelipis boru, sebagai gerak memberi berkat. Kadang boru merespon dengan maniuk, mengelus dagu atau pipi hula-hula.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!