Warga berkulit sawo matang sebagai peserta balap karung juga ditampilkan dalam selembar foto tahun 1948. Foto itu menampilkan pasukan KNIL sedang lomba balap karung pada 23 April 1948 di Bandung. Untuk diketahui, sebagian serdadu KNIL adalah pribumi Hindia Belanda. (Lihat foto berikut.)
Akhirnya sebuah foto pasca penyerahan kedaulatan (27 Desember 1949) sepenuhnya menampilkan pribumi menyelenggarakan lomba balap karung. Mungkin itulah awal-awal lomba balap karung mulai merakyat dan kemudian menjadi tradisi dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI. (Lihat foto berikut.)
Bisa disimpulkan lomba balap karung diperkenalkan orang Belanda kepada pribumi pada paruh pertama abad ke-20. Mungkin benar pertama kali diperkenalkan di daerah Rawa Barat Jakarta. Tapi bukan dikreasi oleh warga Betawi di sana.
Karung kentang atau goni (gunny) itu bukan budaya benda Betawi atau pribumi. Goni atau karung jute itu adalah budaya benda orang Belanda. Pertama goni dibawa VOC untuk wadah hasil bumi yang akan diekspor ke Belanda atau negara lain. Kemudian digunakan oleh para ondernemer yang mengusahakan agroindustri atau perdagangan hasi bumi di nusantara.
Karena goni bukan budaya benda Betawi atau pribumi, sekurangnya pada jaman Belanda, maka kecil kemungkinan pribumi menciptakan pemainan balap karung. Pribumi tidak menggunakan goni untuk mengangkut hasil bumi, tapi keranjang rotan/bambu atau karung anyaman mendong/pandan.
***
Kendati lomba balap karung bukan asli kreasi pribumi atau orang Indonesia, melainkan hasil introduksi penjajah Belanda, namun dia mengandung nilai filosofis terkait perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai sebuah permainan yang kini merakyat, balap karung itu telah menjadi pernyataan rakyat tentang kemerdekaan.
Lomba balap karung itu merujuk pada suatu perjuangan yang diwarnai keterbatasan atau pembatasan -- disimbolkan kedua kaki terbungkus karung, sehingga tak bebas bergerak. Hal itu relevan untuk konteks perjuangan kemerdekaan maupun perjuangan mengisi kemerdekaan.