“Kau akan pergi jugakah, Poltak?”
Dua pasang mata basah saling mengucap rindu, sebelum kapal bertolak menciptakan jarak berupa danau yang luas, lembah yang dalam, dan gunung tinggi di antara keduanya. Itulah perpisahan terindah yang pernah ada.
“Now the hacienda is so dark, the town is sleeping.
Now the time has come to part, the time for weeping.
Vaya con dios my darling, vaya con dios, vaya con dios my love.”
Terdengar alunan musik dan lagu kelompok The Cats melantunkan satu bait dan refrain sedih “Vaya Con Dios” dari radio di kedai bakmi “Acek Rudy”, di pojok selatan dermaga. Ah, kenapa pula radio harus memutar lagu yang mengharu-biru itu pada saat yang tepat. Acek Rudy, pemilik kedai bakmi itu, sungguh jahat.
“Oi, romantis kalilah namarpariban itu. Eh, ingat. Kalian masih anak-anak!” Ama Ronggur berteriak lagi. Disambut tawa riuh dan berbagai komentar para penumpang kapal, terutama para inang-inang, ibu-ibu pedagang.
“Bah, suka-suka namarparibanlah! Jangan angek pula kau!” Nai Rumiris membentak Ama Ronggur, membela Berta borunya dan Poltak berenya. (Tamat)
*Mauliate godang kuucapkan pada rekan-rekan Kompasianer pembaca setia novel mosaik anarkis "Poltak". Kalian telah menyemangatiku sejak episode #001 sampai episode #115 ini.
Izinkan saya mengucap umpasa ini: Sahat-sahat ni solu sai sahat ma hu bontean. Sahat hita leleng mangolu sai sahatma hu panggabean. Artinya: Sejauh perahu berlayar akhirnya berlabuh di dermaga. Semoga kita berumur panjang dan menempuh hidup bahagia.