Ketika membaca ulang cerpen "Pelajaran Mengarang" Seno Gumira Ajidarma (Cerpen Tetbaik Kompas 1992/1993), saya agak terhenyak. "Kegiatan mengarang kok jadi problematik begini, ya," pikirku.
Cerpen itu berkisah tentang Sandra (10) yang kebingungan menulis karangan sesuai judul yang diberikan gurunya. "Keluarga Kami yang Berbahagia", atau "Liburan ke Rumah Nenek", atau "Ibu".Â
Masalahnya Sandra tidak merasa punya keluarga utuh, tidak punya nenek, dan tidak merasa punya ibu yang sayang anak. Ibunya adalah seorang pelacur yang sibuk melayani nafsu berbagai lelaki. Bapaknya entah siapa, tak pernah jelas.
Sampai habis waktu 60 menit pelajaran mengarang, Sandra belum menulis sepatah kata pun. Dia tak bisa menuliskan semua keburukan yang dialaminya tentang keluarga, nenek, dan ibu.Â
Pada menit terakhir dia hanya menuliskan frasa "Ibuku Seorang Pelacur" pada kertas putih. Diselipkannya kertas itu di antara karangan teman-teman sekelasnya.
***
Kesulitan Sandra berpangkal pada praktek pelajaran mengarang yang bersifat otoriter di sekolah. Guru menentukan judul secara sepihak. Lalu murid disuruh mengarang sesuai judul, atau topik itu.Â
Dalam kasus Sandra, gurunya berasumsi bahwa semua murid pasti punya keluarga, ibu, dan nenek. Seakan semua anak datang dari keluarga sempurna. Tak terpikir olehnya kemungkinan adanya anak, seperti Sandra, yang tak jelas sejarah, struktur, dan kultur keluarganya.
Sewaktu di SD tahun 1960-an, aku juga mengalami persoalan serupa. Selepas vakansi sekolah, guru lazim menyuruh murid menulis karangan tentang "pengalaman liburan". Itu masalah besar bagiku, dan teman-teman, karena kami merasa tak punya pengalaman liburan.
Definisi liburan bagi kami waktu itu adalah tidak pergi ke sekolah dan lebih banyak waktu membantu orangtua bekerja. Entah itu bekerja di sawah, ladang, kebun, dan mengangon kerbau. Atau mencari kayu bakar ke hutan.