"Jangan Triwindulah. Soto Gading saja!" Seseorang berteriak, mengajukan usul.
"Voting!"
Maka jadilah voting. Hasilnya 6 - 1 untuk kemenangan Soto Gading. Apakah hanya aku yang setengah gila merindu soto Triwindu? Aku manyun!
Mobil melaju di Jalan Bhayangkara, Panularan-Laweyan. Lewat kaca jendela, kulihat ada restoran Ayam Goreng Kartini di sebelah kanan jalan. Banyak mobil parkir di halaman depannya. Berarti enak, tuh.
"Kita makan di Ayam Goreng Kartini saja!" Aku berusaha mengacaukan hasil voting. "Gak soto Triwindu gak soto Gading, ya ayam goreng Kartini saja." Pikiran jahatku muncul begitu saja. Buah rasa kecewa karena kalah voting.
Cobalah mengerti sedikit. Nanti malam ada acara keluarga dengan konsumsi model USDEK (Unjuk - Snek/Sup - Dahar - Es Krim - Kondur). Pasti enak dan ngenyangin. Besok pagi mesti kembali ke Semarang. Kapan ke Triwindu, coba.
"Ngaco! Gaklah!" Istriku melotot. Itu tandanya dia kepingin juga makan ayam goreng Kartini. Tapi hasil voting tak boleh dibatalkan.
Mobil berhenti, parkir di tepi jalan, persis di depan rumah makan "Soto Ayam Gading 2". "Ah, sudah buka cabang rupanya," bathinku. Cabang ini berada di Jalan Veteran, Tipes-Serengan.
Ingatanku tetiba melayang ke satu hari sekitar duapuluh tahun lalu. Aku bersana anak dan istri ditraktir Paklik/Bulik makan soto Gading. Waktu itu warungnya di Jalan Brigjen Sudiarto, Joyosuran Pasar Kliwon. Sekarang dikenal sebagai Rumah Makan Soto Gading 1.
Itu pertama kali aku menikmati soto ayam Gading. Setelah itu belum pernah lagi. Terus terang, aku sudah lupa rasanya. Tapi ingat rupanya. Bihun bening dan suwiran daging ayam tenggelam dalam kuah rada bening, dengan taburan bawang goreng ngambang di permukaannya. Â
Eling rupane lali rasane. Kira-kira begitu situasi memoriku. Deja vu? Bukan lali rupane eling rasane. Ini sih memori supir dan kernet truk jalur Pantura.