Lain timlo lain kuahnya. Lain jomlo lain susahnya.
Menjadi jomlo itu gak pernah mudah. Walau sebenarnya gak susah-susah amat juga, sih.
Lha, kalo dipikir-pikir, apa susahnya sih gak punya gebetan. Gak direngeki, gak direcoki, dan gak digandoli anak orang. Merdeka banget, tuh.
Jomlo bisa bilang "Aku jomlo maka aku bahagia." Semprul, dia bohong. Orang yang menikah juga bilang "Aku kawin maka aku bahagia." Semprul, dia lebih bohong lagi.
Gak adalah itu hubungan kausatif langsung antara status marital dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu soal gimana kamu menghargai dan menikmati hidupmu. Â
Jomlo itu tak pernah mudah hanya dalam urusan melewati malam-malam dingin secara jablay. Tapi sebenarnya itu rada lebay juga, sih. Sebab bukankah sekarang ini era swalay(an)?
Hal yang benar-benar tak pernah mudah bagi jomlo adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan kepoisme. Semisal "Kok belum kawin?", "Gak laku-laku, ya?", "Mau dicariin jodoh?", "Apa gak berkarat itu barang?", dan "Kapan kawin?"
Andai jomlo itu agama, pasti pertanyaan-pertanyaan tersebut masuk kategori penistaan. Soalnya mereka menusuk langsung ke inti iman jomlo. Wah, bisa-bisa pengujarnya kena demo berjulid-julid dan berjilid-jilid.
Barangkali itulah yang terjadi saat Engkong Felix getol membully dua orang kompasianer jomlo imut. Mereka gak nyaman, jengkel, dan marah. Mau membalas, takut kualat pada lansia. Ya, sudah, cara terbaik ghosting aja dari Kompasiana. Sampai segitunya, coba.
Lantas selama ghosting, apa saja yang telah mereka lakukan? Nah, itu yang mau kukisahkan di mari.