Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Local Pride, Naturalisasi, Kegilaan Erick Thohir, dan Masa Depan Sepak Bola Kita

9 Juni 2023   07:54 Diperbarui: 9 Juni 2023   17:23 5540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster promosi pertandingan persahabatan FIFA antara Indonesia dan Argentina pada 19 Juni 2023 (Foto: kolase via indosport.com)

Lebih tepat menafsir ungkapan "Local pride!" itu sebagai ekspresi rasa minder terhadap pemain naturalisasi dan pelatih asing. Minder karena, faktual, kualitas pemain naturalisasi dan pelatih asing  memang di atas rata-rata pemain dan pelatih lokal.  

Rasa minder itu lalu mengerucut menjadi sikap etnosentrisme. Suatu anggapan bahwa pemain dan pelatih lokallah kekuatan terbaik untuk mengantar sepakbola Indonesia ke pentas dunia. 

Penilaian etnosentris semacam itu jelas berlebihan.  Betul timnas kita sukses menjuarai Piala AFF U-16 dan Cabor Sepakbola U-22 SEA Games 2023. Tapi baru satu kali itu saja setelah bertahun-tahun. Itu  tidak cukup sebagai dasar mengatakan pemain dan pelatih lokal kita sudah mencapai level kelas dunia. 

Jangankan di level dunia, atau katakanlah Asia. Di level Asia Tenggara saja Timnas Indonesia itu belum teruji sebagai campione, juara.

***

Poster promosi pertandingan persahabatan FIFA antara Indonesia dan Argentina pada 19 Juni 2023 (Foto: kolase via indosport.com)
Poster promosi pertandingan persahabatan FIFA antara Indonesia dan Argentina pada 19 Juni 2023 (Foto: kolase via indosport.com)

Sikap etnosentrisme bisa menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan prestasi sepakbola nasional.  Tersebab mengingkari fakta kualitas persepakbolaan nasional jauh tertinggal di belakang Eropa.  

Menolak naturalisasi pemain karena itu berarti menolak salah satu moda efektif pembelajaran dan pemelajaran sepakbola bermutu tinggi.  Tidak saja dalam hal keunggulan strategi dan teknik serta ketangguhan fisik. Tapi terutama dalam hal kehebatan visi bermain dalam tim dan ketangguhan mental. 

Dua hal terakhir ini adalah kekurangan utama pesepakbola lokal.  Sekurangnya demikian penilaian STY.  Visi bermain dan mentalitas pemain kini menjadi fokus STY dalam pembenahan timnas. Sebab percuma punya ketrampilan teknis dan ketangguhan fisik kelas Eropa tapi mentalitas kelas inlander yang serba minderwaardig.

Sebagai contoh saja. Kekalahan Timnas kita dari Vietnam pada semifinal Piala AFF 2022 lebih disebabkan kemiskinan visi bermain dan kelemahan mentalitas. Khususnya pada pemain lokal. Bisa disaksikan pemain naturalisasi, misalnya Jordi Amat, begitu gregetan di lapangan. Beberapa kali dia terlihat berteriak, dengan mimik kesal, pada teman-temannya yang tampak kalah mental. Sehingga kerap salah passing, kehilangan bola, dan tidak fokus.

Dengan pengalaman Eropa, pemain naturalisasi seperti Jordi Amat jelas punya visi bermain yang lebih baik dan mental yang lebih tangguh. Itu tampak jelas di lapangan. Wajar jika dia kerap kecewa pada teman-temannya yang gagal mengantisipasi umpan dan gerakan-tanpa-bolanya. Tersebab kesenjangan dalam visi bermain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun