Kepak sayap seekor burung perkutut membuat lelaki berambut perak itu tersentak. Dia terbangun dari keasyikannya menyusun keping-keping passel riwayat masa kecil seorang anak bernama Poltak.
Perkutut itu terbang dari rerimbunan pohon kemiri di kebun belakang kampung Panatapan. Â Berada dalam kuncian tatapan lelaki itu, burung perkutut tadi terbang menuju barat. Dia melayang menyeberangi jalan Trans-Sumatera, sebelum kemudian menghilang ke dalam rerimbunan hutan eukaliptus.
"Ah, tidak ada lagi hutan pinus di sana. Sabuk hijau anti-api makadamia juga takada lagi. Â Kini hanya ada hamparan hutan eukaliptus," keluh lelaki itu.
Dia mendapat cerita dari orang kampung, hutan pinus dan makadamia itu telah habis dipanen oleh sebuah perusahaan di Porsea. Katanya untuk digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan rayon.Â
Kini areal puluhan ribu hektar itu ditanami pohon eukaliptus. Tanaman yang rakus air. Katanya untuk dijadikan bahan baku pulp dan rayon juga.
Semua memang telah berubah seiring berlalunya waktu. Â Enampuluh tahun yang sudah terlewati tak hanya mengubah rupa manusia, tapi juga rupa bumi Panatapan.
Bukit Partalinsiran tempat lelaki itu duduk kini tidak lagi seperti dulu. Â Tidak ada lagi rerumputan, paku resam, Â dan perdu kecil yang menutup bukit itu. Â Kini lereng-lerengnya sudah ditanami jahe.Â
Hampir semua perbukitan di Panatapan telah berubah menjadi kebun jahe. Â Mulai dari Bukit Partalinsiran di barat sampai Bukit Pardolok di timur. Tidak ada lagi tersisa padang rumput yang luas untuk mengembalakan kerbau.
Sebagian besar situs masa kecil seorang anak bernama Poltak telah hilang ditelan lubang hitam bernama pembangunan. Â Benar-benar hilang tanpa bekas. Â Dan selamanya pasti akan hilang dari sejarah, seandainya lelaki itu tak merekamnya dalam ingatan.
"Ah, riwayat masa kecilku. Â Betapa indah," kata lelaki itu dalam hati.