Nah, itulah pangkalnya. "Kenapa gak pulang, nak. Kamu mestinya pulang. Â Orang Katolik itu kalau Paskah harus kumpul dalam keluarga."
Padahal Tiur itu dilarang pulang oleh Poltak dan Berta. Soalnya sebentar lagi kan libur Lebaran. Masa Paskah pulang, terus Lebaran pulang lagi. Â Itu sih bukan merantau namanya, tapi pulang-pergi.
"Jangan kayak anak-anak ibu. Disuruh pulang saat Paskah pada gak mau. Ibu jadinya sendirian begini!" Ibu tua itu, agaknya sudah menjanda, curcol full emosi.
"Oh, gitu. Lha, yang masalah kan di anak dia. Kenapa anak kita yang dimarahi?" Poltak meradang, gak bisa terima.
"Lho, anak ibu itu kan gak pulang. Jadi dia gak bisa marahin anaknyalah," jawab Berta, logis.
"Oh, iya  juga, ya." Poltak mahfum atau sebenarnya mungkin mendadak dungu.
"Hitung-hitung anak kita mengorbankan dirilah. Demi ketenteraman hati ibu tua itu sebelum Misa. Kan sesuai dengan semangat Paskah juga. Berkorban demi kebaikan sesama."
Poltak manggut-manggut. Â Takjub atas ucapan Berta, istrinya yang cerdas.
Poltak teringat pada Frans yang marah-marah lantaran istrinya dimarahi atasannya di kantor.
"Aku aja, Bang, gak pernah marahin istriku!" protesnya meradang pada Poltak. Seolah-olah Poltak itu atasan istrinya.
"Ya iyalah. Biasanya kan kamu yang dimarahin istrimu," jawab Poltak kalem.