Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hindari Plagiat Tanpa Sadar dalam Tulisan

3 April 2023   06:47 Diperbarui: 8 April 2023   12:03 1684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cek plagiat (Foto: stock.adobe.com)

Beberapa hari lalu seorang rekan membagikan sebuah puisi di WAG. Judulnya "Saya Percaya Saya Bisa Terbang",  telah tayang dengan label "pilihan" di Kompasiana tahun lalu (K. 5/11/2022).

Membaca judulnya, ingatanku langsung melayang ke sebuah lagu. Judulnya "I Believe I Can Fly", diciptakan dan dinyanyikan oleh R. Kelly, penyanyi AS.  Lagu itu dirilis tahun 1996 sebagai soundtrack Space Jam, film animasi yang menampilkan Michael Jordan. 

Saya langsung bagikan video (YouTube) lagu itu sebagai respon. Sambil memberi sedikit catatan bahwa judul puisi itu terindikasi plagiat. Sebab R. Kelly sudah lebih dulu menciptakan dan menggunakan frasa "I Believe I Can Fly" (Saya Percaya Saya Bisa Terbang) sebagai judul lagunya tahun 1996.

Saya menduga penulis puisi itu tak bersengaja plagiat. Barangkali saja dia pernah dengar atau baca frasa "saya percaya saya bisa terbang",  lalu terinspirasi menulis puisi tentang hal itu, dengan mengambil tamsil anak elang belajar terbang.

Tapi saya harus beritahu, penggunaan frasa itu sebagai judul tulisan -- atau mungkin film atau drama -- dengan sendirinya adalah plagiat. Mungkin itu bukan hanya plagiat frasa, tapi juga plagiat gagasan (yang terkandung dalam frasa itu).

Mengapa begitu? Saya akan coba jelaskan di bawah ini.

***

Pernah mengurus hak kekayaan intelektual (HAKI)  atas suatu nama, frasa, disain, video, atau lainnya ke Dirjen HAKI? Misalkan saya  mengajukan HAKI untuk nama "kompasiana", maka pasti ditolak karena nama itu sudah terdaftar atas nama Kompas Gramedia Group.

Atau misalkan saya mengajukan HAKI untuk frasa "seribu kunang-kunang di manahan". Mestinya ditolak juga karena Umar Kayam telah menulis cerpen berjudul "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan", kemudian menjadi judul buku kumpulan cerpennya (Pustaka Jaya, 1972). Memang ada perbedaan satu kata,  yaitu "manahan" dan "Manhattan", tapi secara keseluruhan dua frasa itu mendekati serupa.

Dengan dua contoh di atas saya bermaksud menujukkan bahwa suatu kata, frasa, atau kalimat bisa saja sudah memiliki hak cipta atas nama seseorang. Sehingga bila kita menggunakan kata, frasa, atau kalimat itu tanpa menyebut nama penciptanya, maka tanpa sadar kita telah melakukan plagiat.

Penyebutan atau pencantuman nama pencipta produk kata, frasa , dan kalimat itu bermakna ganda. Pertama, pengakuan atas kepemilikan hak cipta atau HAKi produk itu. Kedua, penghargaan kepada orang yang telah menciptakan prosuk tersebut.

Pengakuan dan penghargaan itu dapat disebut sebagai dua azas anti-plagiat. Maksudnya, dua azas itu wajib menjadi pegangan bagi setiap penulis atau pencipta karya seni, agar terhindar dari kejahatan plagiat.

Untuk itu memang diperlukan kesadaran (awareness) kritis saat kita menulis. Terutama saat memasukkan suatu kata, frasa, atau kalimat yang terdengar familiar sebagai judul atau dalam teks. Penting untuk selalu memastikan siapa penciptanya.

Ada banyak produk kata, frasa, dan kalimat yang sangat populer, seakan sudah menjadi milik umum, sehingga kita cenderung lalai memberi pengakuan dan penghargaan pada penciptanya.

Berikut ini adalah beberapa contoh:

  • "Untung ada saya" (Freddy Aris a.k.a Gepeng-Srimulat).
  • "... coba kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang" (Ebiet G. Ade).
  • "Kemesraan ini janganlah cepat berlalu" (Virgiawan  Liestanto a.k.a Iwan Fals).
  • "Darah itu merah, jenderal" (Arifin C. Noer").
  • "Aku ini binatang jalang" dan "tak perlu sedu-sedan itu" (Chairil Anwar).
  • "What is in a name?" - Apalah arti sebuah nama? (William Shakespeare).
  • "Waiting for Godot" - Menunggu Godot (Samuel Beckett).
  • "Jangan rindu, ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." (Pidi Baiq dalam novel/film Dilan)
  • "Wong ko ngene kok dibanding-bandingke" (Agus Purwanto a.k.a Abah Lala)

Segitu saja dulu, sekadar contoh. Kalau ditambah-tambahi, nanti artikel ini menjadi kumpulan kata mutiara. 

Dari khasanah kearifan lokal ada juga frasa dan kalimat yang sangat populer, sehingga dianggap tak perlu  lagi menyebut sumbernya. Misalnya, "makan tidak makan asal kumpul" dan "begitu ya begitu tapi jangan begitu".

Memang kita tidak tahu siapa yang menciptakan frasa atau kalimat itu. Tapi semestinya tetap diberi pengakuan dan penghargaan dengan menuliskan, misalnya, "Seperti kata orang Jawa ...." Hal itu berlaku juga untuk ujaran kearifan lokal dari entitas budaya atau etnis lain.

***

Ada sedikitnya tiga alasan mengapa dalam tulisan wajib mencantumkan sumber atau pemilik hak cipta atas produk kata, frasa, dan kalimat.

Pertama, kewajiban etik untuk mengakui dan menghargai daya cipta dan hak cipta orang lain.

Kedua, terkait yang pertama, menghindarkan penulis dari tuduhan tindak kejahatan plagiat. 

Ketiga, menghindari risiko penggelapan atau penghilangan asal-usul sebuah produk kata, frasa, dan kalimat terkenal.  

Barangkali ada orang yang menganggap remeh produk-produk semacam itu.  Lalu bilang, misalnya, "Ah, cuma ujaran 'untung ada saya', itu kan siapa saja bisa ngomong. 

Oh, ya? 

Jangan lupa, Gepenglah orang pertama yang mengujarkan tiga kata itu menjadi satu kalimat yang lucu tapi satiris. Bukan saya, kamu, atau dia.

Kalimat itu telah menjadi kritik terhadap orang kaya yang kerap mengorbankan bawahannya sebagai tameng. Semisal, untung ada bawahan yang bisa dikorbankan sebagai pelaku korupsi. 

Satu hal yang harus disadari, ada sebuah proses kreatif di balik kata, frasa, dan kalimat. Sebuah proses kreatif yang tak selalu mudah. Betapapun itu tampak sebagai spontanitas, seketika, seperti Gepeng ngomong "Untung ada saya." Itu adalah serendipitas, buah intuisi yang cuma Gepeng bisa mengalaminya. 

Atau mungkin ada yang bilang, "Ah, tak soallah, mesin pelacak plagiat tak mengindikasi adanya tindakan plagiat dalam tulisan, kok."  Ah, kawan, plagiat itu urusan akal-budi bukan urusan mesin intelegensi artifisial.

Lalu, apakah saya sudah terbebas dari kejahatan plagiat tanpa sadar semacam itu? Sehingga berani menulis artikel nasihat semacam ini?

Justru sebaliknya. Puisi "Saya Percaya Saya Bisa Terbang" itu telah mengingatkanku akan kejahatan plagiat tanpa sadar yang sama. Saya pernah menulis artikel di Kompasiana dengan judul  "Guru Penggerak Itu Berat, Kamu Gak Akan Kuat", tanpa menyebut (dalam catatan kaki) bahwa judul itu meniru ujaran ciptaan Pidi Baiq dalam Dilan.

Saya mengakui itu kesalahanku dan harus berterimakasih kepada  penulis puisi "Saya Percaya Saya Bisa Terbang". Dia telah mengingatkanku untuk mengaku dosa di sini.

Akhirnya, kepada kamu dan dia, saya hanya bisa katakan, "Jangan pernah melakukan plagiat tanpa sadar seperti aku." (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun