Penyebutan atau pencantuman nama pencipta produk kata, frasa , dan kalimat itu bermakna ganda. Pertama, pengakuan atas kepemilikan hak cipta atau HAKi produk itu. Kedua, penghargaan kepada orang yang telah menciptakan prosuk tersebut.
Pengakuan dan penghargaan itu dapat disebut sebagai dua azas anti-plagiat. Maksudnya, dua azas itu wajib menjadi pegangan bagi setiap penulis atau pencipta karya seni, agar terhindar dari kejahatan plagiat.
Untuk itu memang diperlukan kesadaran (awareness) kritis saat kita menulis. Terutama saat memasukkan suatu kata, frasa, atau kalimat yang terdengar familiar sebagai judul atau dalam teks. Penting untuk selalu memastikan siapa penciptanya.
Ada banyak produk kata, frasa, dan kalimat yang sangat populer, seakan sudah menjadi milik umum, sehingga kita cenderung lalai memberi pengakuan dan penghargaan pada penciptanya.
Berikut ini adalah beberapa contoh:
- "Untung ada saya" (Freddy Aris a.k.a Gepeng-Srimulat).
- "... coba kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang" (Ebiet G. Ade).
- "Kemesraan ini janganlah cepat berlalu" (Virgiawan  Liestanto a.k.a Iwan Fals).
- "Darah itu merah, jenderal" (Arifin C. Noer").
- "Aku ini binatang jalang" dan "tak perlu sedu-sedan itu" (Chairil Anwar).
- "What is in a name?" - Apalah arti sebuah nama? (William Shakespeare).
- "Waiting for Godot" - Menunggu Godot (Samuel Beckett).
- "Jangan rindu, ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." (Pidi Baiq dalam novel/film Dilan)
- "Wong ko ngene kok dibanding-bandingke" (Agus Purwanto a.k.a Abah Lala)
Segitu saja dulu, sekadar contoh. Kalau ditambah-tambahi, nanti artikel ini menjadi kumpulan kata mutiara.Â
Dari khasanah kearifan lokal ada juga frasa dan kalimat yang sangat populer, sehingga dianggap tak perlu  lagi menyebut sumbernya. Misalnya, "makan tidak makan asal kumpul" dan "begitu ya begitu tapi jangan begitu".
Memang kita tidak tahu siapa yang menciptakan frasa atau kalimat itu. Tapi semestinya tetap diberi pengakuan dan penghargaan dengan menuliskan, misalnya, "Seperti kata orang Jawa ...." Hal itu berlaku juga untuk ujaran kearifan lokal dari entitas budaya atau etnis lain.
***
Ada sedikitnya tiga alasan mengapa dalam tulisan wajib mencantumkan sumber atau pemilik hak cipta atas produk kata, frasa, dan kalimat.
Pertama, kewajiban etik untuk mengakui dan menghargai daya cipta dan hak cipta orang lain.