Peristiwa penganiayaan David Ozora oleh Mario Dandy telah menimbulkan suatu efek berantai yang tak lazim. Bukan semacam efek domino yang menunjuk pada rentetan kejadian serupa: X maka X', X", X"' dan seterusnya. Tapi semacam pola kausatif dimana suatu kejadian X memicu respon berupa kejadian Y dan Z.
Kasus penganiayaan itu, kini sudah ditangani polisi, telah menguak fakta gaya hidup super-mewah Mario, sebagaimana dipamerkannya di ruang publik. Â Mobil Rubicon, motor Harley Davidson, dan motor Triumph adalah kendaraan mewah yang pernah dipamerkannya di media sosial (medsos).
Publik medsos kemudian bertanya-tanya, dari mana asal-muasal semua barang mewah, simbol status, yang dipamerkan Mario itu. Itulah respon pertama yang kemudian mengundang respon-respon lainnya.
Respon-respon itulah yang saya sebut di sini sebagai "Efek Mario". Saya akan jelaskan lebih lanjut.
Larangan Pamer Kekayaan
Seandainya si kaya-raya Mario tak melakukan tindak kekerasan kepada David, dan seandainya David bukan anak tokoh GP Ansor melainkan anak orang kebanyakan, masalahnya mungkin tak akan heboh dan menimbulkan efek berantai di luar kasus penganiayaan itu.
Suatu jalan damai mungkin akan ditempuh. Tentu saja dengan dukungan kuasa uang dan relasi kolutif. Lalu pihak korban akan menerimanya sebagai musibah, kehendak Yang Maha Kuasa.Â
Sudah ada presedennya. Anak seorang artis, juga anak seorang politisi, menabrak mobil lain dengan mobilnya. Lalu nyawa korban kecelakaan itu dibayar dengan uang damai. Kasusnya pun meredup.
Tapi kasus Mario tak seperti itu.
Warganet, lewat media daring dan medsos, ramai mengulik sumber mobil dan motor mewah Mario. Lalu menemukan dan mengungkap fakta gaya hidup mewah keluarganya. Terungkapi Rafael Alun, ayah Mario, memiliki kekayaan senilai Rp 56 miliar (LHKPN 2021). Hampir sama dengan kekayaan Menkeu Sri Mulyani (Rp 58 miliar).
Kekayaan Rafael itu dinilai Menkeu Sri Mulyani dan warganet tak masuk akal. Dia cuma pejabat Eselon III Ditjen Pajak Kemenkeu dengan kisaran gaji Rp 3-6 juta/bulan. Lalu dari mana datangnya kekayaan sebesar itu?
Menkeu Sri Mulyani berespon cepat. Rafael Alun langsung dinon-aktifkan dari jabatannya. Lalu Itjen Kemenkeu melakukan audit investigasi terhadap harta kekayaan Rafael. Hasilnya ditemukan adanya pelanggaran berat, sehingga Rafael dipecat sebagai ASN Kemenkeu. Selanjutnya, Rafael dipanggil KPK untuk mempertanggung-jawabkan jumlah dan asal-usul kekayaannya.
Itu efek pertama kasus Mario, yaitu kasus tindak kekerasan yang dipicu arogansi kuasa harta.
Kasus kekayaan Rafael yang tak masuk akal itu memicu kemerosotan kredibilitas Ditjen Pajak di mata publik. Sehingga muncul misalnya ajakan  pembangkangan publik untuk tidak membayar pajak.Â
Karena itu Menkeu mengeluarkan pernyataan keras agar ASN di lingkup Kemenkeu, khususnya Ditjen Pajak, tidak pamer kemewahan. Menkeu secara eksplisit juga minta agar Klub Moge Dirjen Pajak "Belasting Rijder" dibubarkan.Â
Pengabaian terhadap larangan pamer harta itu akan dikenai sanksi keras. Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto sudah merasakannya. Gara-gara pamer moge, pesawat, dan mobil klasik di medsos, Eko yang punya harta sekitar Rp 7 miliar ini (LHKPN 2021) langsung dibebas-tugaskan Menkeu. Juga dipanggil KPK untuk klarifikasi kekayaan.
Hal serupa juga terjadi pada Andhi Pramono, Kapala Bea Cukai Makasar. Gara-gara dia dan anak gadisnya pamer barang mewah di medsos, Andhi harus menghadapu pemeriksaan Itjen Kemenkeu dan KPK.
Larangan pamer kemewahan itu rupanya nenimbulkan kepanikan di lingkungan Ditjen Pajak. Situs penjualan daring nendadak banjir penawaran moge menyusul pembubaran  Klub Moge "Belasting Rijder". KPK langsung bereaksi dan menemukan fakta nama-nama  ASN Ditjen Pajak sebagai penjualnya.
Panggilan KPK
"Efek Mario" ternyata tak terbatas di lingkungan Kemenkeu, tapi juga merembet ke kementerian atau instansi lain. Â Selain juga, seperti telah disinggung tadi, mengundang reaksi KPK.
Menyusul Rafael dan Eko dari Kemenkeu, viral pula pamer kemewahan anggota keluarga (anak/istri) Kepala BPN Jakarta Timur, Â Pejabat Setneg, dan Sekda Provinsi Riau.Â
Kepala BPN Jaktim dan Pejabat Setneg itu telah dicopot dari jabatannya dan harus memenuhi panggilan KPK. Mereka harus mengklarifikasi jumlah dan sumber kekayaannya.
Sekda Riau masih berkelit. Dia mengklaim barang mewah yang dipamerkan anak dan istrinya itu barang KW. Â Mungkin foto istrinya naik gondola di Venesia itu KW juga -- aslinya mungkin di Sungai Siak.
Satu hal yang menarik, pengungkapan gaya hidup mewah, atau pamer kemewahan, bukan hasil identifikasi pemerintah. Katakan misalnya Kemenkeu, Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, atau Kemensetneg. Â Tapi diungkap oleh netizen lewat medsos dan kemudian diviralkan aneka media daring. Â
Netizen memanfaatkan momentum. Larangan ASN dan anggota keluarganya pamer kemewahan itu benar-benar dimanfaatkan. Netizen yang gerah, mungkin juga marah, ingin agar mereka yang doyan pamer di medsos itu berhadapan dengan KPK.
Itulah yang terjadi. KPK benar-benar memanggil para pejabat yang doyan pamer kekayaaan itu klarifikasi jumlah dan sumber harta-bendanya.
"Efek Mario": Â Meluas atau Memudar?
Untuk meringkaskan, "Efek Mario" mencakup tiga level berikut.
Pertama, level keluarga, ayah Mario yaitu Rafael Alun telah dipecat jadi ASN Kemenkeu dan harus menghadapi pemeriksaan KPK.
Kedua, level institusi, sejumlah ASN yang terungkap pamer kemewahan telah dinon-aktifkan instansinya, dan telah dipanggil oleh KPK.
Ketiga, level masyarakat, merespon larangan ASN pamer kemewahan, netizen menjadi aktif mengungkap fakta pamer hidup mewah dari sejumlah ASN dan anggota keluarganya.
Menjadi pertanyaan, apakah "Efek Mario" akan merembet lebih luas menjangkau lebih banyak pejabat/ASN yang terdeteksi suka pamer kemewahan? Atau sebaliknya, "Efek Mario" dengan cepat akan memudar seiring peralihan fokus ke persidangan kasus penganiayaan itu nanti?
Hampir bisa dipastikan "Efek Mario" itu akan memudar dengan cepat. Sudah ada preseden kasus korupsi Gayus di Ditjen Pajak. Kasus itu hanya ramai semusim, dan membuat ASN Ditjen Pajak tiarap dua musim. Â Setelah itu segala sesuatunya kembali kepada keadadaan semula. (Sampai kemudian kasus Rafael terungkap.)
Ada dua penjelasan tentang pemudaran "Efek Mario" itu.
Pertama, pemerintah tidak tampak bersunguh-sungguh mengungkap gaya hidup mewah dan tak wajar dari para ASN di berbagai instansi pemerintah.
Pengungkapan fakta hidup mewah ASN itu sejauh ini masih dilakukan netizen lewat medsos. Setelah viral barulah instansi tempat kerja ASN Â itu dan KPK bereaksi atau mengambil tindakan.
Kedua, Â netizen kita gampang terdistraksi, beralih perhatian pada peristiwa baru yang mungkin lebih menarik, walau tak penting-penting amat. Mungkin gelaran pengadilan Mario masih akan disoroti. Tapi unggahan pamer kemewahan ASN dengan cepat akan dilupakan.Â
Dua faktor itu, pemerintah yang tak serius dan netizen yang angin-anginan, akan membuat "Efek Mario" cepat memudar. Pemerintah dan netizen sama-sama tak bisa diandalkan.
Seandainya pemerintah serius, saya pikir ada dua langkah yang mestinya dapat dilakukan.
Pertama, menjadikan LHKPN sebagai dokumen aktif, bukan dokumen pasif yang hanya dibuka saat pejabat yang bersangkutan terindikasi korupsi.Â
Jika menjadi dokumen aktif, maka LHKPN harus diklarifikasi setiap seorang ASN/Staf BUMN mulai dan selesai menduduki jabatan tertentu.Â
Kedua, mengeluarkan instansi inspektorat jenderal dari semua kementerian dan mengintegrasikannya menjadi satu Badan Inspektorat Nasional. Â Ini kurang lebih seperti integrasi perusahaan negara ke dalam Kementerian BUMN atau lembaga riset kementerian ke dalam BRIN.
Integrasi semacam itu dimaksudkan untuk mencegah konflik kepentingan. Inspektorat akan terbebas dari pengaruh atasan dan sejawatnya dalam pengungkapan pelanggaran keuangan oleh pegawai.
Salah satu fungsi yang bisa dilekatkan pada Badan Inspektorat Nasional adalah audit investigasi atas LHKPN pejabat-pejabat negara.Â
Tanpa langkah yang sistemik seperti itu, maka penindakan oleh pemerintah pada pejabat negara yang gemar pamer kemewahan, sebagai indikasi korupsi, hanya akan menjadi reaksi "hangat-hangat tahi ayam". Â Habis "hangat"-nya tinggallah "bau"-nya.Â
Kalau sudah tinggal "bau"-nya saja, ya, semua pihak akan menghindar, bukan? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H