Saya menemukan sejumlah faktor penyebab atomisasi itu. Seperti krisis suksesi pengusaha dan persaingan dengan industri sarung berbahan sintetis. Lalu, satu hal yang tak terduga, persaingan sarung Balige dengan celana panjang.
"Revolusi celana" rupanya mensubstutisi penggunaan sarung di kalangan perempuan Batak Toba. Jika dulu bekerja dan bepergian mengenakan sarung Balige, kini cukup mengenakan celana panjang "burjer" yang lebih praktis, murah, dan modis. Akibatnya pembelian sarung Balige oleh para perempuan Batak, konsumen utamanya, semakin menurun.
Terdengar aneh dan lucu, tapi itu tragis bagi pengusaha tenun Balige. Seorang pengusaha tenun generasi kedua berkata begini pada akhir 1990-an:
"Dulu kalau panen padi para perempuan memerlukan dua sarung. Satu penutup kepala, satu lagi penutup pinggang ke bawah untuk mencegah gatal kena jerami. Sekarang para perempuan sudah pakai celana panjang burjer dan terkadang topi saat panen padi."
Pengusaha itu sedang menjelaskan mengapa tingkat pembelian dan, karena itu, omset penjualan sarung tenun Balige semakin menciut.
Wasanakata
Kasus "burjer" di Tanah Batak menunjukkan adanya sejumlah dampak positif dan negatif terhadap kondisi sosial-ekonomi.
Dampak positifnya, pertama, "burjer" memenuhi hak orang Batak, terutama lapisan bawah, untuk berpakaian layak dengan harga terjangkau.
Kedua, "burjer" turut memfasilitasi "revolusi celana" di kalangan perempuan Batak Toba, yaitu suatu gejala emansipasi sosial gender perempuan yang ditandai intensitas dan produktivitas kerja perempuan Batak yang semakin tinggi berkat penggunaan celana panjang.
Dampak negatifnya, seperti diterangkan tadi, "revolusi celana" yang difasilitasi "burjer" telah menjadi salah satu faktor penyebab penurunan konsumsi sarung dan, karena itu, omset penjualan industri tenun Balige. Bersama-sama dengan faktor-faktor lain, hal itu telah menyebabkan gejala deindustrialisasi atau atomisasi industri tenun di Balige.
"Burjer" dalam masyarakat Batak, atau bisnis pakaian bekas pada umumnya, adalah bagian pemenuhan hak sandang dan bahkan sarana emansipasi sosial.
Jadi pelarangan bisnis "burjer" atau pakaian bekas oleh pemerintah sebenarnya dapat berimplikasi perampasan hak sandang masyarakat dan, lebih buruk lagi, pemberangusan emansipasi sosial.
Jika ada dampak negatif bisnis pakaian bekas terhadap industri tekstil atau pakaian jadi, maka aspek yang harus dibenahi adalah, pertama, mekanisme impor dan perdagangan pakaian bekas.