Saya ingat aksi karitas sumbangan pakaian bekas seperti itu sudah ada sejak awal 1970-an. Orang Batak Toba menyebutnya buruk-buruk ni Jerman (pakaian bekas Jerman), disingkat "burjer".
Umat menerima "burjer" itu dengan senang hati. Maklum mayoritas warga Batak, termasuk umat HKBP, waktu itu masih hidup dalam kemiskinan. "Burjer" membuat mereka dapat mengenakan pakaian bagus.
Ciri khas "burjer" adalah ukurannya yang besar, sesuai rata-rata ukuran besar tubuh orang Jerman. Sehingga kalau ada lelaki Batak yang mengenakan jas kedodoran waktu itu, maka orang akan bilang dia pakai "burjer".Â
Ketika bisnis pakaian bekas -- lazim disebut "rombengan" -- mulai memasuki onan-onan (pasar mingguan) di Tanah Batak tahun 1980-an, dan semakin meningkat tahun 1990-an, orang Batak Toba tetap menyebutnya "burjer".Â
Memang pada awalnya ada kecurigaan bahwa pakaian bekas yang dijual di pasar itu adalah "burjer" yang diselewengkan. Tapi kemudian orang tahu, itu pakaian bekas yang diimpor dari Singapura, lewat jalur resmi ataupun tak resmi.
Karena sudah mengenal "burjer" sebelumnya, orang Batak Toba merespon bisnis pakaian bekas secara positif. Tak soal kalaupun harus beli karena harganya sangat murah.
Orang Batak tak pernah malu mengenakan "burjer" atau pakaian bekas. Malu itu, kata orang tua-tua, kalau kita telanjang atau mengenakan pakaian hasil curian.
Revolusi Celana di Kalangan Perempuan Batak
Karitas "burjer" atau kemudian bisnis pakaian bekas tidak saja memungkinkan orang Batak mengenakan pakaian layak. Atau bahkan mengenakan pakaian bagus bikinan luar negeri.Â
Tapi lebih dari itu bisnis "burjer" telah ikut memfasilitasi sebuah "revolusi senyap" dalam masyarakat Batak. Itulah "revolusi celana" di kalangan perempuan Batak. Dari tadinya mengenakan rok dan atau sarung menjadi mengenakan slek (slack) atau celana panjang.
Itu suatu perubahan radikal dalam model busana perempuan yang menyebabkan laki-laki Batak ternganga-nganga. Sebab pada saat bangun pagi para suami menemukan istrinya sudah hilir-mudik bekerja mengenakan celana panjang, sementara mereka masih mengenakan sarung.
Perempuan Batak itu pekerja keras, entah itu bertani atau berdagang (parrengge-rengge) di pasar. Tadinya mereka mengenakan rok dan atau sarung untuk bekerja sehari-hari. Tapi adopsi inovasi slek lewat "burjer" menyadarkan mereka bahwa rok atau sarung membatasi gerak tetapi celana panjang membebaskan gerak.