Bagi orang Batak Toba di Tanah Batak aktivitas jual-beli pakaian bekas layak sandang (thrifting) bukanlah hal baru. Orang Batak Toba sudah akrab dengan transaksi pakaian bekas sejak awal 1970-an atau kurang lebih setengah abad lalu.
Secara historis, perdagangan pakaian bekas di Tanah Batak berjalin dengan perubahan sosial-ekonomi orang Batak Toba. Setidaknya ada tiga hal yang saling terkait dan menarik untuk disoroti.
Pertama, kegiatan jual-beli pakaian bekas di Tanah Batak itu bermula dari kegiatan karitas di lingkungan gereja.Â
Kedua, jual-beli pakaian bekas telah menjadi faktor pemercepat "revolusi celana" di kalangan perempuan Batak Toba.
Ketiga, "revolusi celana" itu menjadi salah satu faktor penyebab gejala deindustrialisasi atau atomisasi industri tenun sarung di kota Balige.
Saya akan jelaskan satu per satu, juga keterkaitannya satu sama lain, untuk menunjukkan dampak bisnis jual-beli pakaian bekas dalam suatu masyarakat.
Dari Karitas Burjer ke Bisnis Pakaian Bekas
Sejarah pakaian bekas melekat di tubuh orang Batak Toba dimulai oleh aksi karitas umat Gereja Protestan Jerman untuk umat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Tanah Batak.
Menurut sejarahnya, HKBP adalah adalah karya Zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) Jerman, yang berkarya di Tanah Batak sejak 1864, dengan tokoh utama Pendeta Dr. I.L. Nommensen -- kemudian menjadi Ephorus Pertama HKBP.
Karena sejarahnya demikian, maka umat HKBP di Tanah Batak itu menjadi semacam "saudara muda" yang banyak mendapat perhatian dari umat Gereja Protestan Lutheran Jerman.
Umat Protestan Jerman mengadakan banyak aksi karitatif untuk umat HKBP di Tanah Batak. Antara lain aksi karitas pengumpulan pakaian bekas layak sandang untuk kemudian dikirimkan dan dibagikan kepada umat HKBP.Â