"Ada teri Medan, Bu?" Pertanyaan basa-basi. Onggokan teri Medan, jenis teri nasi putih, sudah jelas tampak di depan mata. Masih bertanya juga.
Khas Melayu banget. Macam pemuda kipas-kipas di dalam mobil non-AC di satu siang yang terik. "Panas sekali, ya dik?" katanya pada pemudi yang duduk kipas-kipas juga di sampingnya. "Iya, bang, panas sekali."Â
Eh, kalau dingin menggigit kamu berdua gak bakalan kipas-kipas. Pelukan kaleee! Dialog gak mutu banget!
Jadi emosi!
Back to teri Medan.
"Itu ada di depan bapak," jawab perempuan lansia pedagang ikan asin itu, dengan nada suara tinggi.
"Aku dari tadi juga sudah lihat ada teri Medan di situ. Tanya kan sekadar berbasa-basi. Kok ya responnya sengit. Mau jualan atau mau berantem, sih?" Poltak mendongkol dalam hati.
"Berapa harga satu ons?"
"Maaf, ya, Pak. Ini harganya mahal. Bukan karena ibu mau jual mahal. Tapi karena ibu belinya juga sudah mahal. Jadi jualnya juga mahal."
"Ini jawaban macam apa pula," pikir Poltak mulai pening. "Aku kan tanya harga. Bukan tanya mahal atau murah?"
"Ya, mahalnya berapa?"